BAGIAN KEDUAPULUH
PERJANJIAN HUDAIBIYA
[Tulisan 1 Dari 3]
PERJANJIAN HUDAIBIYA
[Tulisan 1 Dari 3]
Highlight
- Setelah enam tahun di Medinah
- Muhammad mengajak orang berhaji
- Tak ada petempuran dan tak ada perang
- Quraisy keberatan Muslimin memasuki Mekah
- Perundingan perdamaian - Kesabaran Muhammad dan politiknya
- Perjanjian Hudaibiya suatu kemenangan yang nyata
ENAM tahun lamanya sudah sejak Nabi dan sahabat-sahabatnya hijrah dari Mekah ke Medinah. Seperti kita lihat, selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. sementara itu Islampun makin tersebar luas, makin kuat dan ampuh pula
Sejak tahun pertama Hijrah, Muhammad sudah mengubah kiblatnya dari al-Masjid’l-Aqsha ke al-Masjid’l-Haram. Sekarang kaum Muslimin menghadap ke Baitullah yang di bangun oleh Ibrahim di Mekah, dan yang kemudian bangunan itu dibaharui lagi tatkala Muhammad masih muda belia. Waktu itu ia juga turut mengangkat batu hitam ketempatnya di ujung dinding bangunan itu. Tak terlintas dalam pikirannya atau dalam pikiran siapapun juga waktu itu, bahwa Tuhan akan menurunkan risalah kepadanya.
Sejak ratusan tahun yang lalu, al-Masjid’l-Haram ini (Mesjid Suci) sudah menjadi arah tujuan orang-orang Arab dalam melakukan ibadat. Dalam bulan-bulan suci setiap tahun mereka datang ke tempat itu. Setiap orang yang datang keamanannya terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling keras sekalipun, di tempat ini ia tak dapat menghunus pedang atau mengadakan pertumpahan darah. Akan tetapi sejak Muhammad dan kaum Muslimin sudah hijrah, pihak Quraisy telah mengambil tanggung jawab dengan melarang mereka memasuki Mesjid Suci itu, melarang mereka mendekatinya diluar golongan Arab lainnya. Dalam hal ini firman Tuhan turun pada tahun Hijrah pertama itu:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan suci: bolehkah berperang? Katakanlah: Berperang dalam bulan itu suatu dosa besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah dan ingkar kepadaNya, merintangi orang memasuki Masjid Suci serta mengusir penduduk dari sekitar tempat itu, lebih besar lagi dosanya disisi Allah.” (Qur’an, 2:217)
Dan sesudah perang Badr juga firman Tuhan ini datang:
“Dan kenapa Allah tidak akan menyiksa mereka padahal mereka merintangi orang memasuki Mesjid Suci, sedang mereka bukan penanggungjawabnya. Mereka yang bertanggungjawab mengurusnya sebenarnya ialah orang-orang yang bertakwa. Tetapi mereka kebanyakan tidak mengetahui. Dan sembahyang mereka di sekitar Rumah Suci itu tidak lain hanya bersiul dan bertepuk tangan. Oleh karena itu rasakan siksaan yang disebabkan oleh kekafiranmu itu. Orang-orang kafir itu mengeluarkan harta mereka guna melarang orang dari jalan Allah; maka mereka masih akan mengeluarkan harta mereka. Sesudah itu mereka menyesal, lalu mereka kalah. Dan orang-orang yang kafir itu akan dikumpulkan di dalam neraka” (Qur’an, 8:34-36)
Selama enam tahun itu banyak sekali ayat-ayat turun berturut-turut mengenai Mesjid Suci itu yang oleh Tuhan dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Akan tetapi pihak Quraisy menganggap Muhammad dan pengikut-pengikutnya telah mengingkari dewa-dewa dalam Rumah Suci itu: Hubal, Isaf, Na’ila dan berhala-berhala yang lain. Oleh karena itu memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka’bah adalah suatu kewajiban buat Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya.
Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu kaum Muhajirin sendiripun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan - tersiksa dalam pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja mereka itu semua yakin akan adanya pertolongan Tuhan kepada Rasul dan kepada mereka serta mengangkat taraf agama mereka diatas agama lain. Mereka percaya sekali, bahwa tak lama lagi pasti akan datang waktunya Tuhan membukakan pintu Mekah kepada mereka, dan mereka akan bertawaf di Rumah Purba (Ka’bah) itu, menunaikan kewajiban agama yang diwajibkan Tuhan kepada seluruh umat manusia. Kalau selama itu, tahun demi tahun yang terjadi hanya peperangan, dari perang Badr ke Uhud, lalu Khandaq, kemudian peperangan-peperangan dan kesibukan-kesibukan lain, maka hari yang mereka harap-harapkan itu kini pasti akan tiba. Mereka sangat merindukan hari yang diharap-harapkan itu. Tidak kurang pula Muhammad seperti mereka, sangat merindukannya dan yakin sekali, bahwa saatnya sudah dekat!
Dengan melarang mengadakan ziarah ke Mekah serta menunaikan kewajiban berhaji dan menjalankan umrah, sebenarnya orang-orang Quraisy sudah melakukan kekejaman terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Rumah Purba ini bukanlah milik Quraisy, melainkan milik semua orang Arab. Hanya saja orang-orang Quraisy itu berkewajiban menjaga Ka’bah dan mengurus air buat para pengunjung, yakni yang meliputi segala macam kepengurusan Rumah Suci dan pemeliharaan pengunjung-pengunjungnya. Tujuan sesuatu kabilah itu satu sama lain dengan menyembah berhala tidaklah berarti membenarkan tindakan Quraisy melarang orang berziarah dan bertawaf di Ka’bah serta melakukan segala upacara dan penyembahan berhala. Muhammad datang mengajak orang menjauhi penyembahan berhala dan membersihkan diri dari segala noda paganisma dan syirik. Ia mengajak orang ke tingkat jiwa yang lebih tinggi, yakni menyembah hanya kepada Allah Yang Tunggal dan tidak bersekutu. Ia akan menempatkannya di atas segala kekurangan, akan membawa kehidupan rohani ke tempat yang dapat menangkap arti kesatuan alam serta keesaan Tuhan. Jadi oleh karena menjalankan ibadah haji dan umrah itu merupakan salah satu kewajiban agama, maka melarang penganut-penganut agama baru ini melakukan kewajiban agamanya berarti suatu tindakan permusuhan.
Akan tetapi apabila Muhammad kemudian datang juga disertai orang-orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada ajarannya, yang sebenarnya mereka ini penduduk asli Mekah, maka orang-orang Quraisy itu kuatir rakyat jelata di Mekah akan menggabungkan diri kepadanya lalu merasa pula bahwa memisahkan mereka dari sanak keluarga, adalah suatu tindakan kekejaman. Dengan demikian ini akan merupakan benih yang dapat mencetuskan perang saudara.
Disamping itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah tidak pula melupakan Muhammad dan pengikutnya yang telah menghancurkan perdagangan mereka, merintangi jalan mereka yang sudah rata itu ke Syam. Oleh karenanya dalam jiwa mereka sudah tertanam rasa dendam dan permusuhan; padahal sudah cukup diketahui, bahwa Rumah itu kepunyaan Allah dan kepunyaan seluruh masyarakat Arab, dan bahwa kewajiban mereka hanyalah menjaganya dan memelihara orang-orang yang sedang berziarah.
Telah lampau enam tahun sejak hijrah, kaum Muslimin sudah gelisah sekali karena rindu ingin berziarah ke Ka’bah dan ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Pada suatu pagi bila mereka sedang berkumpul di mesjid, tiba-tiba Nabi memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki, bahwa insya Allah mereka akan memasuki Mesjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa akan merasa takut.
Begitu mereka mendengar berita mengenai mimpi Rasulullah itu, serentak mereka mengucap; Alhamdulillah. Secepat kilat berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru Medinah. Tetapi bagaimana caranya memasuki Masjid Suci itu? Dengan perangkah? Ataukah orang-orang Quraisy secara paksa harus dikosongkan? Atau barangkali Quraisy dengan tunduk menyerah membukakan jalan?
Tidak. Tak ada pertempuran, tak ada perang. Bahkan Muhammad mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam bulan Zulhijah yang suci. Dikirimnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah, dengan aman, tanpa ada pertempuran. Dalam pada itu yang diinginkan sekali oleh Muhammad ialah supaya kaum Muslimin dapat berangkat sebanyak mungkin. Maksud baik daripada ini ialah supaya semua orang Arab mengetahui bahwa kepergiannya dalam bulan suci itu hendak menunaikan ibadah haji, bukan akan berperang. Ia hanya ingin melaksanakan suatu kewajiban dalam hukum Islam, yang juga diwajibkan dalam agama-agama orang Arab sebelum itu. Untuk itu diajaknya orang-orang Arab yang tidak se-agama itu agar juga melakukan kewajiban tersebut. Sesudah semua itu, kalaupun Quraisy masih juga bersikeras hendak memeranginya dalam bulan suci, hendak melarang orang Arab akan apa yang sudah menjadi kepercayaan sekalipun berlain-lainan, maka takkan ada orang-orang Arab yang mau mendukung sikap Quraisy atau akan membantu mereka melawan kaum Muslimin. Dengan sikap keras itu mereka hendak membendung orang pergi ke Mesjid Suci, hendak membelokkan orang dari agama Ismail. dan dari agama Ibrahim, leluhur mereka.
Oleh karena itu pihak Muslimin merasa aman juga kalau orang-orang Arab itu dapat menggabungkan diri seperti golongan Ahzab dulu. Agamanya akan lebih terpandang dimata orang-orang Arab yang belum beriman itu. Apa pula yang akan dikatakan Quraisy kepada mereka yang datang ke tanah suci itu, tanpa membawa senjata kecuali pedang yarig disarungkan, didahului oleh binatang kurban yang hendak mereka sembelih. Buat mereka tak ada urusan lain daripada hanya akan menunaikan tugas agama dengan bertawaf di Baitullah, yang juga menjadi kewajiban semua masyarakat Arab itu.
Muhammad mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kepada kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi banyak juga dari mereka itu yang masih menunda-nunda. Dalam bulan Zulkaedah sebagai salah satu bulan suci, ia berangkat dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang mau menggabungkan diri, didahului di depan oleh untanya, Al-Qashwa. Jumlah mereka yang berangkat ketika itu sebanyak seribu empatratus orang. Muhammad membawa binatang kurban terdiri dari tujuhpuluh ekor unta1, dengan mengenakan pakaian ihram, dengan maksud supaya orang mengetahui, bahwa ia datang bukan mau berperang, melainkan khusus hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah.
Bilamana rombongan sudah sampai di Dzu’l-Hulaifa2 mereka menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah. Binatang kurban itu dilepaskan dan disebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda, di antaranya terdapat unta Abu Jahl yang kena rampas dalam perang Badr. Tiada seorang juga dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Isteri Nabi yang ikut serta dalam perjalanan ini ialah Umm Salama.
Berita tentang Muhammad dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa kuatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya. Mereka menduga kedatangannya hanya sebagai suatu tipu muslihat saja. Dengan begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Mekah, karena mereka dan golongan Ahzab pernah pula terlarang tak dapat memasuki Medinah. Apa yang mereka ketahui tentang lawan mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan Umrah itu serta apa yang sudah diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya mereka hanya didorong oleh rasa keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang Arab, tidak akan dapat mengubah keputusan Quraisy hendak mencegah Muhammad memasuki Mekah; betapa pun besarnya pengorbanan yang harus mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu.
Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang, oleh Quraisy segera di kerahkan dan pimpinannya di serahkan kepada Khalid bin’l-Walid dan ‘Ikrima bin Abi Jahl. Pasukan ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk Ibukota (Mekah). Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa.
Sebaliknya Muhammad ia meneruskan perjalanannya. Sesampainya di ‘Usfan3 ia bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka’b. Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu mengetahui berita-berita sekitar Quraisy.
“Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini,” jawabnya. “Lalu mereka berangkat dengan mengenakan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama-sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin’l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kira’l-Ghamim.”4
“O, kasihan Quraisy!” kata Muhammad. “Mereka sudah lumpuh karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saja saya dengan orang-orang Arab yang lain itu. Kalaupun mereka sampai membinasakan saya, itulah yang mereka harapkan, dan kalau Tuhan memberi kemenangan kepada saya, mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Tetapi jika itupun belum mereka lakukan, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai kekuatan. Quraisy mengira apa. Saya akan terus berjuang, demi Allah, atas dasar yang diutuskan Allah kepada saya sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal.”
Kemudian ia berfikir, apa gerangan yang akan diperbuatnya. Keberangkatannya dari Medinah bukan akan berperang. Ia mau memasuki Tanah Suci hanya hendak berziarah ke Baitullah, ia hendak menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
Ia tidak mengadakan persiapan perang. Boleh jadi juga kalaupun dia berperang dan dikalahkan, hal ini akan dijadikan kebanggaan oleh Quraisy. Atau barangkali Khalid dan ‘Ikrima itu disuruh dengan tujuan sengaja hendak mencapai maksud itu, setelah diketahui bahwa ia berangkat bukan dengan maksud hendak berperang?
Sementara Muhammad sedang berpikir-pikir itu pasukan Quraisy sudah tampak sejauh mata memandang. Tampaknya sudah tak ada jalan lagi buat Muslimin akan dapat mencapai tujuan, kecuali jika mau menerobos barisan itu. Dan jika pun terjadi pertempuran pihak Quraisy akan mempertahankan kehormatan dan tanah airnya. Suatu pertempuran yang memang tidak diingini oleh Muhammad. Akan tetapi Quraisy hendak memaksanya juga supaya ia bertempur dan supaya melibatkan diri ke dalam peperangan.
Sungguhpun begitu pihak Muslimimpun tidak kurang pula semangat pertahanannya. Adakalanya dengan pedang terhunus saja sudah cukup buat mereka menangkis serangan musuh. Tetapi dengan demikian tujuannya jadi hilang, dan akan dipakai alasan oleh Quraisy di kalangan orang-orang Arab yang lain. Pandangannya lebih jauh dari itu, siasatnya lebih dalam dan lebih matang É Jadi, dia menyerukan kepada orang banyak itu sambil katanya:
“Siapa yang dapat membawa kita ke jalan lain daripada tempat mereka sekarang berada?”
Dengan demikian ia masih berpegang pada pendapatnya hendak menempuh saluran damai yang sudah digariskannya sejak ia berangkat dari Medinah dan berniat hendak pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Dalam pada itu kemudian ada seorang laki-laki yang bersedia membawa mereka ke tempat lain dengan melalui jalan berliku-liku antara batu-batu karang yang curam yang sangat sulit dilalui. Kaum Muslimin merasa sangat letih menempuh jalan itu. Tetapi akhirnya mereka sampai juga ke sebuah jalan datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh melalui sebelah kanan yang akhirnya keluar di Thaniat’l-Murar, jalan menurun ke Hudaibiya di sebelah bawah kota Mekah. Setelah pasukan Quraisy melihat apa yang dilakukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, merekapun cepat-cepat memacu kudanya kembali ke tempat semula dengan maksud hendak mempertahankan Mekah bila diserbu oleh pihak Muslimin.
Bila kaum Muslimin sampai di Hudaibiya. Al-Qashwa’ (unta kepunyaan Nabi) berlutut. Kaum Muslimin menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Rasulullah berkata:
“Tidak. Ia (unta itu) ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Mekah. Setiap ada ajakan dari Quraisy dengan tujuan mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu saya sambut.”
Kemudian dimintanya orang-orang itu supaya turun dari kendaraan. Tetapi mereka berkata:
“Rasulullah, kalaupun kita turun, di lembah ini tak ada air.”
1 Asalnya badana atau badn, yaitu unta atau sapi yang di sembelih (A)
2 Sebuah desa enam atau tujuh mil jauhnya dari Medinah, tempat pertemuan penduduk Medinah yang akan pergi haji.
3 Usfan, sebuah desa terletak antara Mekah dan Medinah, sekitar 60 km dari Mekah.
4 Kira’l-Ghamim sebuah wadi di depan ‘Usfan, sekitar 8 mil (± 12 km).
0 comments:
Post a Comment