8.1. TAHUN PERTAMA DI YATHRIB

BAGIAN KESEBELAS
TAHUN PERTAMA DI YATHRIB1
[Tulisan 1 Dari 4]


Highlight

  • Yathrib menyambut Muhajir Besar 
  • Pembinaan mesjid dan tempat-tempat tinggal Nabi 
  • Kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Yathrib 
  • Orang-orang Yahudi Medinah 
  • Muhammad mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar  
  • Perjanjiannya dengan Yahudi menetapkan kebebasan beragama  
  • Perkawinan Muhammad dengan Aisyah 
  • Azan sembahyang  
  • Teladan dan ajaran-ajaran Muhammad  
  • Kuatnya agama baru dan takutnya pihak Yahudi  
  • Kiblat dari al-Masjid’l-Aqsha dialihkan ke al-Masjid’l-Haram  
  • Delegasi Nasrani ke Medinah 
  • Pertemuan tiga agama di Yathrib 
  • Kaum Muslimin mempertimbangkan kedudukannya terhadap Quraisy 

BERBONDONG-BONDONG penduduk Yathrib ke luar rumah hendak menyambut kedatangan Muhammad, pria dan wanita. Mereka berangkat setelah tersiar berita tentang hijrahnya, tentang Quraisy yang hendak membunuhnya, tentang ketabahannya menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihama, yang justru memantulkan sinar matahari yang panas dan membakar itu. Mereka keluar karena terdorong ingin mengetahui sekitar berita tentang ajakannya yang sudah tersiar di seluruh jazirah. Ajakan ini juga yang sudah mengikis kepercayaan-kepercayaan lama yang diwarisi dari nenek-moyang mereka, yang sudah dianggap begitu suci.
[
Akan tetapi mereka keluar itu bukan disebabkan oleh dua alasan ini saja, melainkan lebih jauh lagi, yakni karena orang yang hijrah dari Mekah ini akan menetap di Yathrib. Setiap golongan, setiap kabilah dari penduduk Yathrib, dari segi politik dan sosial dalam hal ini memberikan efek yang bermacam-macam. Inilah yang lebih banyak mendorong mereka menyongsong keluar, daripada sekedar ingin melihat orang ini. Juga mereka ingin mengetahui, benarkah hal itu akan memperkuat dugaan mereka, ataukah mereka harus menarik diri.

Oleh karena itu, sambutan orang-orang musyrik dan Yahudi atas kedatangan Nabi tidak kurang daripada sambutan kaum Muslimin, baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar. Mereka semua mengerumuninya. Sesuai dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati masing-masing terhadappendatang orang besar itu, denyutan jantung merekapun tidak sama pula satu sama lain. Mereka sama-sama mengikutinya tatkala ia melepaskan kekang untanya dan membiarkannya berjalan sekehendaknya sendiri, dengan agak kurang teratur karena masing-masing ingin memandang wajahnya. Semua ingin mengelilinginya dengan pandangan mata tentang orang yang gambarnya sudah terlukis dalam jiwa masing-masing, tentang orang yang telah membuat Ikrar Aqaba kedua, bersama-sama penduduk kota ini - guna melakukan perang mati-matian terhadap Quraisy; orang yang telah hijrah meninggalkan tanah airnya, berpisah dengan keluarganya dengan memikul segala tekanan permusuhan dan tindakan kekerasan dari mereka selama tigabelas tahun terus-menerus. Ini semua demi keyakinan tauhid kepada Allah, tauhid yang dasarnya adalah merenungkan alam semesta ini serta mengungkapkan hakekat yang ada dengan jalan itu.

Unta yang dinaiki Nabi alaihi ssalam berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat membangun mesjid. Sementara tempat itu dibangun ia tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid b. Zaid al-Anshari. Dalam membangun mesjid itu Muhammad juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal Rasul. Baik pembangunan mesjid maupun tempat-tempat tinggal itu tidak sampai memaksa seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Muhammad.

Mesjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat temboknya dibuat daripada batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak punya tempat-tinggal. Tidak ada penerangan dalam mesjid itu pada malam hari. Hanya pada waktu salat Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan penopang atap itu. Sebenarnya tempat-tempat tinggal Nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya daripada mesjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.

Selesai Muhammad membangun mesjid dan tempat-tinggal, ia pindah dari rumah Abu Ayyub ke tempat ini. Sekarang terpikir olehnya akan adanya hidup baru yang harus dimulai, yang telah membawanya dan membawa dakwahnya itu harus menginjak langkah baru lebih lebar. Ia melihat adanya suku-suku yang saling bertentangan dalam kota ini, yang oleh Mekah tidak dikenal. Tapi juga ia melihat kabilah-kabilah dan suku-suku itu semuanya merindukan adanya suatu kehidupan damai dan tenteram, jauh dari segala pertentangan dan kebencian, yang pada masa lampau telah memecah-belah mereka. Kota ini akan membawa ketenteraman pada masa yang akan datang, yang diharapkan akan lebih kaya dan lebih terpandang daripada Mekah. Akan tetapi, bukanlah kekayaan dan kehormatan Yathrib itu yang menjadi tujuan Muhammad yang pertama, sekalipun ini ada juga. Segala tujuan dan daya-upaya, yang pertama dan yang terakhir, ialah meneruskan risalah, yang penyampaiannya telah dipercayakan Tuhan kepadanya, dengan mengajak dan memberikan peringatan. Akan tetapi, oleh penduduk Mekah sendiri, dengan cara kekerasan risalah ini dilawan mati-matian, sejak dari awal kerasulannya sampai Rada waktu hijrah. Karena takut akan penganiayaan dan tindakan kekerasan pihak Quraisy, risalah dan iman itu tidak sampai memasuki setiap kalbu. Segala penganiayaan dan tindakan kekerasan ini menjadi perintang antara iman dengan kalbu manusia yang belum lagi menerima iman itu.

Baik kaum Muslimin maupun yang lain seharusnya percaya, bahwa barangsiapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk ke dalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan; bagi orang yang sudah beriman akan tambah kuat imannya, sedang bagi yang masih ragu-ragu, atau masih takut-takut atau yang lemah akan segera pula menerima iman itu.

Pikiran itulah yang mula-mula meyakinkan Muhammad, ia tinggal di Yathrib, ke arah itu politiknya ditujukan dan dengan tujuan itu pula hendaknya sejarah hidupnya ditulis. Ia tak pernah memikirkan kerajaan, harta-benda atau perniagaan. Seluruh tujuannya ialah memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan bagi mereka dalam menganut kepercayaan agama masing-masing. Baik bagi seorang Muslim, seorang Yahudi, atau seorang Kristen masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan yang sama menyatakan pendapat dan kebebasan yang sama pula menjalankan propaganda agama. Hanya kebebasanlah yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan terhormat. Setiap tindakan menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan, berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia. Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati nurani manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali sampai pada akhirnya yang abadi, suatu hubungan yang menjalin rasa kasih sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran

Dengan pemikiran inilah wahyu itu disampaikan kepada Muhammad sejak ia hijrah. Dan karena itu pula ia sangat mendambakan perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal ini selama hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak menempuh jalan itu, kalau tidak terpaksa karena membela kebebasan, membela agama dan kepercayaan. Bukankah, ketika mendengar ada mata-mata memanggil-manggil Quraisy, memberi peringatan tentang mereka itu, penduduk Yathrib yang ikut mengadakan Ikrar Aqaba kedua berkata kepadanya?

“Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedang kami.”

Dijawabnya:

“Kami tidak diperintahkan untuk itu.”

Bukankah ayat pertama yang datang mengenai perang berbunyi?

“Diijinkan (berperang) kepada mereka yang diperangi, karena mereka dianiaya; dan sesungguhnya Allah Maha kuasa menolong mereka.” (Qur’an, 8: 39)

Dan bukankah ayat berikutnya mengenai soal perang itu Tuhan berfirman?

“Dan perangilah mereka supaya jangan ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah.” (Qur’an, 2: 193)

Jadi pertimbangan pikiran Muhammad dalam hal ini hanya mempunyai satu tujuan yang luhur, yaitu menjamin kebebasan beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk mempertahankan itulah perang dibenarkan, dan hanya untuk itu pula dibenarkan menangkis serangan pihak agresor, sehingga jangan ada orang yang dapat dikacau dari agamanya dan jangan pula ada orang yang ditindas karena kepercayaan atau pendapatnya.

Kalau inilah tujuan Muhammad dalam pertimbangannya mengenai masalah Yathrib serta harus menjamin adanya kebebasan, maka penduduk kota ini pun menyambutnya dalam pikiran yang serupa, meskipun setiap golongan pertimbangannya saling bertentangan satu sama lain. Penduduk Yathrib pada waktu itu terdiri dari kaum Muslimin - Muhajirin dan Anshar - orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj - sedang hubungan kedua golongan ini sudah sama-sama kita ketahui; kemudian orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu’n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara.

Ada pun kaum Muhajirin dan Anshar, karena solidaritas agama baru itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun begitu, kekuatiran dalam hati Muhammad belum hilang samasekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian lama di kalangan mereka akan kembali timbul. Sekarang terpikir olehnya bahwa setiap keraguan semacam itu harus dihilangkan. Usaha ini akan tampak juga pengaruhnya

Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, akibat peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah sekali di tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan supaya antara keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi dengan tiada ragu-ragu merekapun menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan demikian mereka akan dapat pula membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi, -bangsa pilihan Tuhan - dari Palestina, Tanah yang Dijanjikan dan tanah air mereka itu.

Dengan dasar pikiran itulah mereka masing-masing bertolak. Mereka membukakan jalan supaya tujuan mereka masing-masing mudah tercapai.

Di sinilah fase baru dalam hidup Muhammad itu dimulai yang sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul yang pernah mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan rasa kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib - tanah airnya yang baru - ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang sebelum itu di seluruh wilayah Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada.

Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu Abu Bakr dan Umar - demikianlah mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula ialah menyusun barisan kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini diajaknya kaum Muslimin supaya masing-masing dua bersaudara, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b. Abi Talib. Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu Bakr bersaudara dengan Kharija b. Zaid. Umar ibn’l-Khattab, bersaudara dengan ‘Itban b. Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib - sesudah mereka yang tadinya masih tinggal di Mekah menyusul ke Medinah setelah Rasul hijrah - dipersaudarakan pula dengan setiap orang dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum saudara sedarah senasib. Dengan persaudaraan demikian ini persaudaraan kaum Muslimin bertambah kukuh adanya.

Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan sikap keramahtamahan yang luarbiasa terhadap saudara-saudara mereka kaum Muhajirin ini, yang sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh gembira. Sebabnya ialah, mereka telah meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka tinggalkan pula segala yang mereka miliki, harta-benda dan semua kekayaan. Sebagian besar ketika mereka memasuki Medinah sudah hampir tak ada lagi yang akan dimakan disamping mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan selain Usman b. ‘Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali yang dapat membawa sesuatu yang berguna dari Mekah.

Pada suatu hari Hamzah paman Rasul pergi mendatanginya dengan permintaan kalau-kalau ada yang dapat dimakannya. Abdur-Rahman b. ‘Auf yang sudah bersaudara dengan Sa’d bin’r-Rabi’ ketika di Yathrib ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ketika Sa’d menawarkan hartanya akan dibagi dua, Abdur-Rahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Dan di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat mencapai kekayaan kembali, dan dapat pula memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Medinah. Bahkan sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa perdagangan. Selain Abdur-Rahman, dari kalangan Muhajirin, banyak juga yang telah melakukan hal serupa itu. Sebenarnya karena kepandaian orang-orang Mekah itu dalam bidang perdagangan sampai ada orang mengatakan: dengan perdagangannya itu ia dapat mengubah pasir sahara menjadi emas.

Adapun mereka yang tidak melakukan pekerjaan berdagang, diantaranya ialah Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib dan lain-lain. Keluarga-keluarga mereka terjun kedalam pertanian, menggarap tanah milik orang-orang Anshar bersama-sama pemiliknya. Tetapi selain mereka ada pula yang harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguhpun begitu, mereka ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Merekapun membanting tulang bekerja, dan dalam bekerja itu mereka merasakan adanya ketenangan batin, yang selama di Mekah tidak pernah mereka rasakan.

Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang Arab yang datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin dan serba kekurangan sampai-sampai ada diantara mereka yang tidak punya tempat tinggal. Bagi mereka ini oleh Muhammad disediakan tempat di selasar mesjid yaitu shuffa [bahagian mesjid yang beratap] sebagai tempat tinggal mereka.

Oleh karena itu mereka diberi nama Ahl’sh-Shuffa (Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupun.

Dengan adanya persatuan kaum Muslimin dengan cara persaudaraan itu Muhammad sudah merasa lebih tenteram. Sudah tentu ini merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan jauh. Baru tampak kepada kita arti semua ini bila kita melihat segala daya-upaya kaum Munafik yang hendak merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan antara Aus dengan Khazraj dan antara Muhajirin dengan Anshar. Akan tetapi suatu operasi politik yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya kemampuan luarbiasa, ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan mewujudkan persatuan Yathrib dan meletakkan dasar organisasi politiknya dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang kuat sekali. Orang sudah melihat betapa mereka menyambut baik kedatangannya dengan harapan akan dapat dibujuknya ke pihak mereka. Penghormatan mereka ini dengan segera dibalasnya pula dengan penghormatan yang sama serta mengadakan tali silaturahmi dengan mereka. Ia bicara dengan kepala-kepala mereka, didekatkannya pembesar-pembesar mereka dibentuknya dengan mereka itu suatu tali persahabatan, dengan pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan kaum monotheis. Lebih dari itu bahwa pada waktu mereka berpuasa iapun ikut puasa. Pada waktu itu kiblatnya dalam sembahyang masih menghadap ke Bait’l-Maqdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya semua Keluarga Israil. Persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan dia makin sehari makin bertambah erat dan dekat juga.

Catatan kaki:


1 Yathrib nama kota Medinah. Dalam terjemahan ini dua sebutan Yathrib dan Medinah sama-sama dipakai (A).


0 comments:

Post a Comment