BAGIAN KEDUAPULUHEMPAT
PEMBEBASAN MEKKAH
[Tulisan 1 Dari 3]
PEMBEBASAN MEKKAH
[Tulisan 1 Dari 3]
Highlight
- Pengaruh Mu’ta
- Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiya
- Khuza’a meminta bantuan Nabi
- Utusan Abu Sufyan kepada Nabi
- Sepuluh ribu Muslimin siap ke Mekah
- Harapan Muhammad tanpa pertumpahan darah membebaskan Mekah
- Abbas berangkat menemui Abu Sufyan
- Muslimin datang membebaskan
- Muhammad memaafkan musuhnya semua
- Ka’bah dibersihkan dari berhala
- Islamnya penduduk Mekah
DI BAWAH pimpinan Khalid bin’l-Walid pasukan Muslimin kini kembali pulang setelah terjadi peristiwa Mu’ta itu. Mereka kembali tidak membawa kemenangan, juga tidak membawa kekalahan. Mereka kembali pulang dengan senang hati.
Penarikan mundur ini setelah - Zaid b. Haritha, Ja’far b. Abi Talib dan Abdullah b. Rawaha tewas - telah meninggalkan kesan yang berlain-lainan sekali pada pihak Rumawi, pada pihak Muslimin yang tinggal di Medinah dan pada pihak Quraisy di Mekah. Rumawi merasa gembira sekali dengan penarikan mundur pasukan Muslimin itu. Mereka sudah merasa bersyukur, sebab pertempuran itu tidak sampai berlangsung lama, meskipun tentara Rumawi terdiri dari seratus ribu menurut satu sumber, - atau dua ratus ribu menurut sumber yang lain, - sementara pasukan Muslimin terdiri dari tiga ribu orang. Kegembiraan pihak Rumawi itu - baik disebabkan oleh ketangkasan Khalid bin’l-Walid dalam bertahan mati-matian dengan kekuatannya dalam mengadakan serangan, sehingga ia menghabiskan sembilan pedang yang patah di tangannya ketika bertempur setelah tewasnya tiga sahabatnya itu, atau disebabkan oleh kecerdikannya dalam mengatur dan membagi-bagi pasukannya pada hari kedua dan yang telah menimbulkan hiruk-pikuk sehingga pihak Rumawi mengira bahwa bala bantuan telah didatangkan dari Medinah - namun kabilah-kabilah Arab yang tinggal di perbatasan dengan Syam sangat kagum sekali melihat tindakan Muslimin ketika itu.
Karena peristiwa itu pula salah seorang pemimpin mereka (Farwa b. ‘Amr al-Judhami, seorang komandan pasukan Rumawi) langsung menyatakan diri masuk Islam. Akan tetapi, atas perintah Heraklius dia kemudian ditangkap dengan tuduhan berkhianat. Sungguh pun begitu Heraklius masih bersedia membebaskannya kembali asal saja ia mau kembali ke dalam pangkuan agama Nasrani, bahkan ia bersedia mengembalikannya pada jabatan semula sebagai komandan pasukan. Tetapi Farwa menolak dan tetap menolak dengan tetap bertahan dalam keislamannya, sehingga akhirnya ia dibunuh juga. Tetapi karena itu pula Islam makin luas tersebar di kalangan kabilah-kabilah Najd yang berbatasan dengan Irak dan Syam. Ketika itu di sana Rumawi sedang berada dalam puncak kekuasaannya.
Dengan bertambah banyaknya orang masuk ke dalam agama baru ini Kerajaan Bizantium makin goyah kedudukannya, sehingga ada penguasa Heraklius, yang bertugas membayar gaji militer, ketika itu berkata lantang kepada orang-orang Arab Syam yang ikut dalam perang; “Lebih baik kalian menarik diri. Kerajaan dengan susah payah baru dapat membayar gaji angkatan perangnya. Untuk makanan anjingnya pun sudah tidak ada.”
Tidak heran kalau mereka lalu meninggalkan kerajaan dan meninggalkan angkatan perangnya. Sebaliknya, agama baru ini makin cemerlang sinarnya memancar dihadapan mereka, yang akan mengantarkan mereka kepada kebenaran yang lebih tinggi, yang akan menjadi tujuan umat manusia. Itu pula sebabnya, selama waktu itu saja ribuan orang telah masuk Islam, yang terdiri dari kabilah Sulaim dengan pemimpinnya Al-‘Abbas ibn Mirdas, kabilah-kabilah Asyja’ dan Ghatafan yang dahulu sudah bersekutu dengan Yahudi sampai hancurnya Yahudi di Khaibar, demikian juga kabilah-kabilah ‘Abs, Dhubyan dan Fazara. Peristiwa Mu’ta ini jugalah yang telah imemudahkan persoalan bagi Muslimin di bagian utara Medinah sampai ke perbatasan Syam itu, dan ini pula yang telah membuat Islam lebih terpandang dan lebih kuat.
Akan tetapi buat Muslimin yang tinggal di Medinah pengaruhnya lain lagi. Bilamana mereka melihat Khalid dan pasukannya kembali dari perbatasan Syam tidak membawa kemenangan atas pasukan Heraklius, mereka bersorak-sorak mengatakan: “He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!” Beberapa orang anggota pasukan itu merasa demikian malu sampai ada yang tidak berani keluar rumah, supaya jangan lagi diperolok-olok oleh anak-anak dan pemuda-pemuda Muslimin dengan tuduhan melarikan diri itu.
Sebaliknya di mata Quraisy, akibat Mu’ta itu dipandang oleh mereka sebagai suatu kehancuran dan pukulan berat buat Muslimin, sehingga tak ada lagi orang yang mau menghiraukan mereka atau menganggap penting segala perjanjian dengan mereka. Biarlah keadaan kembali seperti sebelum ‘umrat’l-qadza’. Biarlah keadaan kembali seperti sebelum Perjanjian Hudaibiya. Biarlah orang-orang Quraisy kembali lagi menyerang kaum Muslimin dan siapa saja yang masih terikat perjanjian dengan mereka tanpa harus merasa takut ada tindakan hukum dari Muhammad.
Perdamaian Hudaibiya antara lain sudah menentukan, bahwa barangsiapa yang ingin masuk kedalam persekutuan dengan Muhammad boleh saja, dan barangsiapa ingin masuk kedalam persekutuan dengan pihak Quraisy juga boleh. Ketika itu Khuza’a masuk bersekutu dengan Muhammad sedang Banu Bakr dengan pihak Quraisy. Sebenarnya antara Khuza’a dengan Banu Bakr ini sudah lama timbul permusuhan yang baru reda setelah ada perjanjian Hudaibiya, masing-masing kabilah menggabungkan diri dengan pihak yang mengadakan perdamaian itu.
Dengan adanya peristiwa yang telah terjadi di Mu’ta itu, sekarang terbayang oleh Quraisy bahwa Muslimin pasti mengalami kehancuran. Sudah terbayang oleh Banu’d-Dil, sebagai bagian dari Banu Bakr b. ‘Abd Manat, bahwa sekarang sudah tiba waktunya akan membalas dendam lamanya kepada Khuza’a, ditambah lagi memang ada segolongan orang dari pihak Quraisy yang ikut mendorong, diantaranya ‘Ikrima b. Abi Jahl dan beberapa orang pemimpin Quraisy lainnya yang sekalian memberikan bantuan senjata.
Malam itu pihak Khuza’a sedang berada di tempat pangkalan air milik mereka sendiri yang bernama al-Watir, oleh pihak Banu Bakr mereka diserang dengan tiba-tiba sekali dan beberapa orang dari pihak Khuza’a dibunuh. Sekarang Khuza’a lari ke Mekah, berlindung kepada keluarga Budail b. Warqa, dengan mengadukan perbuatan Quraisy dan Banu Bakr yang telah melanggar perjanjian dengan Rasulullah itu. Untuk itu ‘Amr b. Salim dari Khuza’a cepat-eepat pula pergi ke Medinah. Dan bila ia sudah menghadap Muhammad yang ketika itu sedang dalam mesjid dengan beberapa orang, diceritakannya apa yang telah terjadi itu dan ia meminta pertolongannya.
“’Amr b. Salim, mesti engkau dibela,” kata Rasulullah.
Sesudah itu Budail b. Warqa, bersama beberapa orang dari pihak Khuza’a kemudian berangkat pula ke Medinah. Mereka melaporkan kepada Nabi mengenai nasib yang mereka alami itu serta adanya dukungan Quraisy kepada Banu Bakr. Melihat apa yang telah dilakukan Quraisy dengan merusak perjanjian itu, maka tak ada jalan lain menurut Nabi, Mekah harus dibebaskan. Untuk itu ia bermaksud mengutus orang kepada kaum Muslimin di seluruh jazirah supaya bersiap-siap menantikan panggilan yang belum mereka ketahui apa tujuannya panggilan demikian itu.
Sebaliknya orang-orang yang dapat berpikir lebih bijaksana di kalangan Quraisy, mereka sudah dapat menduga bahaya apa yang akan timbul akibat tindakan ‘Ikrima dan kawan-kawannya dari kalangan pemuda itu. Kini persetujuan Hudaibiya sudah dilanggar, dan pengaruh Muhammad di seluruh jazirah sekarang sudah bertambah kuat. Sekiranya apa yang telah terjadi itu dipikirkan, bahwa pihak Khuza’a akan menuntut balas terhadap penduduk Mekah, pasti Kota Suci itu akan sangat terancam bahaya. Jadi apa yang harus mereka lakukan sekarang?
Mereka mengutus Abu Sufyan ke Medinah, dengan maksud supaya persetujuan itu diperkuat kembali dan diperpanjang waktunya. Barangkali waktu yang sudah itu berlaku untuk dua tahun, sekarang mereka mau supaya menjadi sepuluh tahun.
Abu Sufyan, sebagai pemimpin mereka dan sebagai orang yang bijaksana di kalangan mereka kini berangkat menuju Medinah. Ketika sampai di ‘Usfan dalam perjalanannya itu ia bertemu dengan Budail b. Warqa, dan rombongannya. Ia kuatir Budail sudah menemui Muhammad dan melaporkan apa yang telah terjadi. Hal ini akan lebih mempersulit tugasnya. Tetapi Budail membantah bahwa ia telah menemui Muhammad. Sungguhpun begitu, dari kotoran binatang tunggangan Budail itu ia mengetahui, bahwa orang itu memang dari Medinah. Oleh karena itulah, ia tidak akan langsung menemui Muhammad lebih dulu, melainkan akan menuju ke rumah puterinya, Umm Habiba, isteri Nabi.
Mungkin ia (Umm Habiba) memang sudah mengetahui rasa kasih sayang Nabi kepada Quraisy meskipun ia belum mengetahui apa yang sudah menjadi keputusannya mengenai Mekah. Dan mungkin juga semua Muslimin yang ada di Medinah demikian.
Waktu itu Abu Sutyan sudah akan duduk di lapik yang biasa diduduki Nabi, tapi oleh Umm Habiba lapik itu segera dilipatnya. Lalu oleh ayahnya ia ditanya, melipat lapik itu karena ia sayang kepada ayah, ataukah karena sayang kepada lapik.
“Ini lapik Rasulullah s.a.w.,” jawabnya. “Ayah orang musyrik yang kotor. Saya tidak ingin ayah duduk di tempat itu.”
“Sungguh engkau akan mendapat celaka, anakku,” kata Abu Sufyan. Lalu ia keluar dengan marah.
Sesudah itu ia pergi menemui Muhammad, bicara mengenai perjanjian serta perpanjangan waktunya. Tetapi Nabi tidak memberikan jawaban samasekali. Selanjutnya ia pergi menemui Abu Bakr supaya membicarakan maksudnya itu dengan Nabi. Tetapi Abu Bakr juga menolak. Sekarang Umar bin’l-Khattab yang dijumpainya. Tetapi Umar memberikan jawaban yang cukup keras:
“Aku mau menjadi perantara kamu kepada Rasulullah? Sungguh, kalau yang ada padaku hanya remah, pasti dengan itu pun akan kulawan engkau.” Seterusnya ia menemui Ali b. Abi Talib, dan Fatimah ada di tempat itu. Dikemukakannya maksud kedatangannya itu dan dimintanya supaya ia menjadi perantaranya kepada Rasul. Tetapi Ali mengatakan dengan lemah-lembut bahwa tak ada orang yang akan dapat menyuruh Muhammad menarik kembali sesuatu yang sudah menjadi keputusannya. Selanjutnya utusan Quraisy itu meminta pertolongan Fatimah supaya Hasan - anaknya - berusaha memintakan perlindungan di kalangan khalayak ramai.
“Tak ada orang akan berbuat demikian itu dengan maksud akan dihadapkan kepada Rasulullah,” jawab Fatimah.
Sekarang keadaannya jadi makin gawat buat Abu Sufyan. Ia meminta pendapat Ali.
“Sungguh saya tidak tahu, apa yang kiranya akan berguna buat kau,” jawab Ali. “Tetapi engkau pemimpin Banu Kinana. Cobalah minta perlindungan kepada orang ramai; sesudah itu, pulanglah ke negerimu. Saya kira ini tidak cukup memuaskan. Tapi hanya itu yang dapat saya usulkan kepadamu.”
Abu Sufyan lalu pergi ke mesjid dan di sana ia mengumumkan bahwa ia sudah meminta perlindungan khalayak ramai. Kemudian ia menaiki untanya dan berangkat pulang ke Mekah dengan membawa perasaan kecewa karena rasa hina yang dihadapinya dari anaknya sendiri dan dari orang-orang - yang sebelum mereka hijrah - pernah mengharapkan belas-kasihannya.
Abu Sufyan kembali ke Mekah. Kepada masyarakatnya ia melaporkan segala yang dialaminya selama di Medinah serta perlindungan yang dimintanya dari masyarakat ramai atas saran Ali, dan bahwa Muhammad belum memberikan persetujuannya.
“Sial!” kata mereka. “Orang itu lebih-lebih lagi mempermainkan kau.”
Lalu mereka kembali lagi mengadakan perundingan.
Sebaliknya Muhammad, ia berpendapat tidak akan memberikan kesempatan mereka mengadakan persiapan untuk memeranginya. Oleh karena ia sudah percaya pada kekuatan sendiri dan pada pertolongan Tuhan kepadanya, ia berharap akan dapat menyergap mereka dengan tiba-tiba, sehingga mereka tidak lagi sempat mengadakan perlawanan dan dengan demikian mereka menyerah tanpa pertumpahan darah.
Oleh karena itu diperintahkannya supaya orang bersiap-siap. Dan setelah persiapan selesai, diberitahukan kepada mereka, bahwa kini ia siap berangkat ke Mekah, dan diperintahkan pula supaya mereka cepat-cepat. Sementara itu ia berdoa kepada Tuhan mudah-mudahan Quraisy tidak sampai mengetahui berita perjalanan Muslimin itu.
Ketika tentara Muslimin sudah siap-siap akan berangkat, Hatib b. Abi Balta’a mengirim sepucuk surat di tangan seorang wanita dari Mekah, budak salah seorang Banu ‘Abd’l-Muttalib bernama Sarah dengan dlberi upah supaya surat itu disampaikan kepada pihak Quraisy, yang isinya memberitahukan, bahwa Muhammad sedang mengadakan persiapan hendak menghadapi mereka. Sebenarnya Hatib orang besar dalam Islam. Tapi sebagai manusia, dari segi kejiwaannya ia mempunyai beberapa kelemahan, yang kadang cukup menekan jiwanya sendiri dan menghanyutkannya kedalam suatu masalah yang memang tidak dikehendakinya. Masalah ini oleh Muhammad segera pula diketahui.
Cepat-cepat disuruhnya Ali b. Abi Talib dan Zubair bin’l-‘Awwam mengejar Sarah. Wanita itu disuruh turun, surat dicarinya di tempat barang tapi tidak juga diketemukan. Wanita itu diperingatkan, bahwa kalau surat itu tidak dikeluarkan, merekalah yang akan membongkarnya. Melihat keadaan yang begitu sungguh-sungguh, wanita itu berkata: Lalulah.
Kemudian ia membuka ikatan rambutnya dan surat itu pun dikeluarkan, yang oleh kedua orang itu lalu dibawa kembali ke Medinah.
Sekarang Hatib dipanggil oleh Muhammad dan ditanya kenapa ia sampai berbuat demikian.
“Rasulullah,” kata Hatib. “Demi Allah, saya tetap beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah. Sedikit pun tak ada perubahan pada diri saya. Akan tetapi saya, yang tidak punya hubungan keluarga atau kerabat dengan mereka itu, mempunyai seorang anak dan keluarga di tengah-tengah mereka. Maka itu sebabnya saya hendak menenggang mereka.”
“Rasulullah,” sela Umar bin’l-Khattab. “Serahkan kepada saya, akan saya penggal lehernya. Orang ini bermuka dua.”
“Dari mana engkau mengetahui itu, Umar,” kata Rasulullall. “Kalau-kalau Allah sudah menempatkan dia sebagai orang-orang Badr ketika terjadi Perang Badr.” Lalu katanya: “Berbuatlah sekehendak kamu. Sudah kumaafkan kamu.”
Dan Hatib memang orang yang ikut dalam Perang Badr. Ketika itulah firman Tuhan datang:
“Orang-orang yang beriman! Janganlah musuhKu dan musuh kamu dijadikan sahabat-sahabat kamu, dengan memperlihatkan kasih-sayang kamu kepada mereka.” (Qur’an, 60: 1)
Sekarang pasukan tentara Muslimin sudah mulai bergerak dari Medinah menuju Mekah, dengan tujuan membebaskan kota itu serta menguasai Rumah Suci, yang oleh Tuhan telah dijadikan tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.
Pasukan ini bergerak dalam suatu jumlah yang belum pernah dialami oleh kota Medinah. Mereka terdiri dan kabilah-kabilah Sulaim, Muzaina, Ghatafan dan yang lain, yang telah menggabungkan diri, baik kepada Muhajirin atau pun kepada Anshar. Mereka berangkat bersama-sama dengan mengenakan pakaian besi. Mereka melingkar ke tengah-tengah padang sahara yang membentang luas itu, sehingga apabila kemah-kemah mereka sudah dikembangkan, tertutup belaka oleh debu pasir sahara itu; sehingga karenanya orang takkan dapat melihatnya. Mereka yang terdiri dari ribuan orang itu telah mengadakan gerak cepat. Setiap mereka melangkah maju, kabilah-kabilah lain ikut menggabungkan diri, yang berarti menambah jumlah dan menambah kekuatan pula. Semua mereka berangkat dengan kalbu yang penuh iman, bahwa dengan pertolongan Allah mereka akan mendapat kemenangan. Perjalanan ini dipimpin oleh Muhammad dengan pikiran dan perhatian tertuju hanya hendak memasuki Rumah Suci tanpa akan mengalirkan darah setetes sekalipun.
Bila pasukan ini sudah sampai di Marr’z-Zahran1 dan jumlah anggota pasukan sudah mencapai sepuluh ribu orang, pihak Quraisy belum juga mendapat berita. Mereka masih dalam silang-sengketa, bagaimana caranya akan menangkis serangan dari Muhammad.
Oleh Abbas b. ‘Abd’l-Muttalib - paman Nabi ditinggalkannya mereka itu dalam perdebatan dan dia sendin sekeluarga berangkat menemui Muhammad di Juhfa.2 Boleh jadi sudah ada orang-orang dari Banu Hasyim yang sudah menerima berita atau semacam berita tentang kebenaran Nabi. Lalu mereka bermaksud menggabungkan diri tanpa akan mendapat sesuatu gangguan.
1 Sejauh empat farsakh dan Mekah.
2 Beberapa penulis sejarah Nabi berpendapat, bahwa Abbas menemui pasukan itu di Rabiqh. Yang lain mengatakan, bahwa ia pergi ke Medinah sebelum ada keputusan membebaskan Mekah. kemudian ia berangkat bersama-sama pasukan pembebas itu. Tetapi banyak orang membantah sumber ini dan diduga itu dibuat untuk menyenangkan hati dinasti Abbasiya, yang penulisannya pertama dilakukan pada masa mereka. Alasan ini mereka perkuat bahwa Abbas - yang membela saudara sepupunya selama di Mekah itu - tidak juga menganut agamanya, sebab Abbas adalah seorang pedagang dan juga menjalankan riba, dikuatirkan Islam akan mengganggu perdagangannya. Ditambah lagi, bahwa dialah orang pertama yang akan dijumpai oleh Abu Sufyan untuk diajak bicara mengenai perpanjangan perjanjian Hudaibiya, mengingat ia belum seberapa lama meninggalkan Mekah.
0 comments:
Post a Comment