BAGIAN KEDUAPULUHTIGA
EKSPEDISI MU’TA
Highlight
- Perhatian Muhammad ke Syam
- Mengerahkan 3000 orang
- Panglimanya Zaid b. Haritha
- Ja’far b. Abi Talib
- Abdullah b. Rawaha
- Pasukan Rumawi
- Dua pasukan bertemu di Mu’ta
- Tiga orang Panglima gugur berturut-turut
- Pimpinan di tangan Khalid b. Walid
- Suatu muslihat dan penarikan mundur
MUHAMMAD belum merasa perlu: tergesa-gesa membebaskan Mekah. Dia mengetahui sekali, bahwa soalnya hanya tinggal soal waktu saja. Perjanjian Hudaibiya baru setahun berjalan. Juga bukan maksudnya akan mengadakan pelanggaran. Muhammad orang yang sangat setia tiada sebuah kata yang pernah diucapkan atau perjanjian yang pernah dibuat, akan dilanggarnya. Oleh karena itu tatkala ia kembali ke Medinah selama beberapa bulan tidak terjadi bentrokkan-bentrokan, kecuali kecil-kecilan saja, seperti pengiriman 50 orang kepada Banu Sulaim dengan tugas dakwah mengajak mereka menganut Islam, yang kemudian dibunuh oleh Banu Sulaim secara gelap dan dengan tidak semena-mena, sehingga pemimpinnya yang berhasil lolos hanya karena kebetulan saja. Begitu juga Banu Laith dan Zafar yang telah menyerang dan merampas mereka itu. Sama pula dengan hukuman yang telah dijatuhkan kepada Banu Murra karena pengkhianatan mereka itu tadinya. Demikian juga adanya limabelas orang yang telah dikirim ke Dhat’t-Talh di perbatasan Syam dengan tugas dakwah mengajak mereka mengikut Islam, dibalas dengan pembunuhan juga, sehingga tak ada yang selamat kecuali
pemimpinnya.
Memang perhatian Nabi tertuju ke wilayah Syam dan bagian-bagian utara ini, yaitu setelah di bagian selatan diadakan perjanjian keamanan dengan pihak Quraisy dan setelah penguasa di Yaman bersedia menerima seruannya. Jalur penyebaran dakwah Islam yang pertama setelah keluar dari semenanjung Arab sudah dibayangkannya. Dilihatnya bahwa Syam dan daerah-daerah di dekatnya itu merupakan pintu pertama jalur dakwah itu. Oleh karena itu beberapa bulan kemudian sekembalinya dari umrah ia telah mengerahkan tiga ribu orang yang kemudian di Mu’ta berhadapan dengan seratus ribu orang pasukan lawan.
Ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat mengenai sebab-musabab terjadinya ekspedisi Mu’ta itu. Sebagian mengatakan bahwa dibunuhnya sahabat Nabi di Dhat’t-Talh itulah yang menyebabkan adanya penyerbuan sebagai hukuman atas mereka yang telah berkhianat itu, yang lain berpendapat bahwa ketika Nabi mengirim seorang utusan kepada gubernur Heraklius di Bushra (Bostra), utusan itu dibunuh oleh orang badwi, dari Ghassan, atas nama Heraklius. Lalu Muhammad mengirimkan mereka yang sedang berperang di Mu’ta supaya memberi hukuman kepada penguasa itu dan siapa saja yang membantunya.
Kalau Perjanjian Hudaibiya merupakan pendahuluan ‘umrat’l-qadza’, lalu pembebasan Mekah, maka ekspedisi Mu’ta ini juga merupakan pendahuluan Tabuk; dan setelah Nabi wafat kemudian terjadi pembebasan Syam. Soalnya akan sama saja; yang menimbulkan ekspedisi Mu’ta itu karena dibunuhnya utusan Nabi kepada penguasa Bushra, atau karena lima belas orang sahabatnya yang juga dibunuh di Dhat’t-Talh.
Dalam bulan Jumadilawal tahun kedelapan Hijrah [tahun 629 M.] Nabi ‘a.s. memanggil tiga ribu orang pilihan, dari sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid b. Haritha dengan mengatakan:
“Kalau Zaid gugur, maka Ja’far b. Abi Thalib yang memegang pimpinan, dan kalau Ja’far gugur, maka Abdullah b. Rawaha yang memegang pimpinan.
Ketika pasukan tentera ini berangkat Khalid bin’l-Walid secara sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan itikad baiknya sebagai orang Islam. Masyarakat ramai mengucapkan selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya itu, dan Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke luar kota, dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon. Nabi ‘a.s. mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan berkata: Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat.
Komandan pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak Syam secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan dalam ekspedisi-ekspedisi yang sudah-sudah. Dengan demikian kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan. Mereka berangkat sampai di Ma’an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka hadapi di sana.
Akan tetapi berita keberangkatan mereka sudah lebih dulu sampai. Syurahbil penguasa Heraklius di Syam sudah mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya. Pasukan tentara yang terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab sebagai bantuan dari Heraklius didatangkan pula. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius sendirilah yang tampil memimpin pasukannya itu sampai bermarkas di Ma’ab di bilangan Balqa’, terdiri dan seratus ribu orang Rumawi, ditambah dengan seratus ribu lagi dari Lakhm, Judham, Qain, Bahra’ dan Bali. Dikatakan juga bahwa Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan Heraklius sendiri.
Ketika pihak Muslimin berada di Ma’an, adanya kelompok-kelompok itu mereka ketahui. Dua malam mereka berada di tempat itu sambil melihat-lihat apa yang harus mereka lakukan berhadapan dengan jumlah yang begitu besar. Salah seorang dari mereka ada yang berkata: Kita menulis surat kepada Rasulullah s.a.w. dengan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Kita bisa diberi bala bantuan, atau kita mendapat perintah lain dan kita maju terus. Saran ini hampir saja diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah ibn Rawaha, yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata:
“Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justeru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid.”
Rasa bangga dari penyair pemberani ini segera pula menular kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata: Ibn Rawaha memang benar!
Mereka lalu maju terus. Ketika sudah sampai di perbatasan Balqa’, di sebuah desa bernama Masyarif, mereka bertemu dengan pasukan Heraklius, yang terdiri dari orang-orang Rumawi dan Arab. Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin segera mengelak ke Mu’ta, yang dilihatnya sebagai kubu pertahanan akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu’ta inilah pertempuran sengit - antara seratus atau duaratus ribu tentara Heraklius dengan tiga ribu tentara Muslimin - mulai berkobar.
Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi dibawa oleh Zaid b. Haritha dan dia terus maju ke tengah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat dielakkan. Tetapi mati disini berarti syahid di jalan Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Dan disinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut oleh Ja’far b. Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya baru tigapuluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani, Ja’far terus bertempur dengan membawa bendera itu. Bilamana kudanya oleh musuh dikepung, diterobosnya kuda itu dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh, menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang kena.
Bendera waktu itu dipegang di tangan kanan Ja’far; ketika tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya; dan bila tangan kiri ini pun terputus, dipeluknya bendera itu dengan kedua pangkal lengannya sampai ia tewas. Konon katanya yang menghantamnya orang dari Rumawi dengan sekaligus hingga ia terbelah dua.
Setelah Ja’far tewas bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha. Dia maju dengan kudanya membawa bendera itu. Sementara itu terpikir olehnya akan turun saja. Ia nmasih agak ragu-ragu.
Kemudian katanya:
Memang perhatian Nabi tertuju ke wilayah Syam dan bagian-bagian utara ini, yaitu setelah di bagian selatan diadakan perjanjian keamanan dengan pihak Quraisy dan setelah penguasa di Yaman bersedia menerima seruannya. Jalur penyebaran dakwah Islam yang pertama setelah keluar dari semenanjung Arab sudah dibayangkannya. Dilihatnya bahwa Syam dan daerah-daerah di dekatnya itu merupakan pintu pertama jalur dakwah itu. Oleh karena itu beberapa bulan kemudian sekembalinya dari umrah ia telah mengerahkan tiga ribu orang yang kemudian di Mu’ta berhadapan dengan seratus ribu orang pasukan lawan.
Ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat mengenai sebab-musabab terjadinya ekspedisi Mu’ta itu. Sebagian mengatakan bahwa dibunuhnya sahabat Nabi di Dhat’t-Talh itulah yang menyebabkan adanya penyerbuan sebagai hukuman atas mereka yang telah berkhianat itu, yang lain berpendapat bahwa ketika Nabi mengirim seorang utusan kepada gubernur Heraklius di Bushra (Bostra), utusan itu dibunuh oleh orang badwi, dari Ghassan, atas nama Heraklius. Lalu Muhammad mengirimkan mereka yang sedang berperang di Mu’ta supaya memberi hukuman kepada penguasa itu dan siapa saja yang membantunya.
Kalau Perjanjian Hudaibiya merupakan pendahuluan ‘umrat’l-qadza’, lalu pembebasan Mekah, maka ekspedisi Mu’ta ini juga merupakan pendahuluan Tabuk; dan setelah Nabi wafat kemudian terjadi pembebasan Syam. Soalnya akan sama saja; yang menimbulkan ekspedisi Mu’ta itu karena dibunuhnya utusan Nabi kepada penguasa Bushra, atau karena lima belas orang sahabatnya yang juga dibunuh di Dhat’t-Talh.
Dalam bulan Jumadilawal tahun kedelapan Hijrah [tahun 629 M.] Nabi ‘a.s. memanggil tiga ribu orang pilihan, dari sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid b. Haritha dengan mengatakan:
“Kalau Zaid gugur, maka Ja’far b. Abi Thalib yang memegang pimpinan, dan kalau Ja’far gugur, maka Abdullah b. Rawaha yang memegang pimpinan.
Ketika pasukan tentera ini berangkat Khalid bin’l-Walid secara sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan itikad baiknya sebagai orang Islam. Masyarakat ramai mengucapkan selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya itu, dan Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke luar kota, dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon. Nabi ‘a.s. mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan berkata: Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat.
Komandan pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak Syam secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan dalam ekspedisi-ekspedisi yang sudah-sudah. Dengan demikian kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan. Mereka berangkat sampai di Ma’an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka hadapi di sana.
Akan tetapi berita keberangkatan mereka sudah lebih dulu sampai. Syurahbil penguasa Heraklius di Syam sudah mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya. Pasukan tentara yang terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab sebagai bantuan dari Heraklius didatangkan pula. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius sendirilah yang tampil memimpin pasukannya itu sampai bermarkas di Ma’ab di bilangan Balqa’, terdiri dan seratus ribu orang Rumawi, ditambah dengan seratus ribu lagi dari Lakhm, Judham, Qain, Bahra’ dan Bali. Dikatakan juga bahwa Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan Heraklius sendiri.
Ketika pihak Muslimin berada di Ma’an, adanya kelompok-kelompok itu mereka ketahui. Dua malam mereka berada di tempat itu sambil melihat-lihat apa yang harus mereka lakukan berhadapan dengan jumlah yang begitu besar. Salah seorang dari mereka ada yang berkata: Kita menulis surat kepada Rasulullah s.a.w. dengan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Kita bisa diberi bala bantuan, atau kita mendapat perintah lain dan kita maju terus. Saran ini hampir saja diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah ibn Rawaha, yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata:
“Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justeru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid.”
Rasa bangga dari penyair pemberani ini segera pula menular kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata: Ibn Rawaha memang benar!
Mereka lalu maju terus. Ketika sudah sampai di perbatasan Balqa’, di sebuah desa bernama Masyarif, mereka bertemu dengan pasukan Heraklius, yang terdiri dari orang-orang Rumawi dan Arab. Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin segera mengelak ke Mu’ta, yang dilihatnya sebagai kubu pertahanan akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu’ta inilah pertempuran sengit - antara seratus atau duaratus ribu tentara Heraklius dengan tiga ribu tentara Muslimin - mulai berkobar.
Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi dibawa oleh Zaid b. Haritha dan dia terus maju ke tengah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat dielakkan. Tetapi mati disini berarti syahid di jalan Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Dan disinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut oleh Ja’far b. Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya baru tigapuluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani, Ja’far terus bertempur dengan membawa bendera itu. Bilamana kudanya oleh musuh dikepung, diterobosnya kuda itu dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh, menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang kena.
Bendera waktu itu dipegang di tangan kanan Ja’far; ketika tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya; dan bila tangan kiri ini pun terputus, dipeluknya bendera itu dengan kedua pangkal lengannya sampai ia tewas. Konon katanya yang menghantamnya orang dari Rumawi dengan sekaligus hingga ia terbelah dua.
Setelah Ja’far tewas bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha. Dia maju dengan kudanya membawa bendera itu. Sementara itu terpikir olehnya akan turun saja. Ia nmasih agak ragu-ragu.
Kemudian katanya:
O diriku, bersumpah aku
Akan turun engkau, akan turun
Atau masih terpaksa juga
Jika orang sudah berperang
dan genderang sudah berkumandang
Kenapa kulihat kau masih membenci surga?
Kemudian diambilnya pedangnya dan dia maju terus bertempur sampai akhirnya dia pun tewas juga.
Mereka itulah Zaid, Ja’far dan Ibn Rawaha. Mereka bertiga telah mati syahid di jalan Allah, dalam satu peristiwa. Tetapi setelah berita ini diketahui oleh Nabi, ia sangat terharu sekali, terutama terhadap Zaid dan Ja’far. Lalu katanya :
Mereka telah diangkat kepadaku di surga - seperti mimpi orang yang sedang tidur - diatas ranjang emas. Lalu saya lihat ranjang Abdullah b. Rawaha agak miring daripada ranjang kedua temannya itu. Lalu ditanya: Kenapa begitu? Dijawabnya: Yang dua orang terus maju, tapi Abdullah agak ragu-ragu. Kemudian terus maju juga.
Orang sudah melihat teladan dan nasehat yang baik ini! Tidak lain ini artinya, bahwa seorang mukmin tidak boleh ragu-ragu atau takut mati di jalan Allah. Bahkan sebaliknya, setiap ia menghadapi sesuatu persoalan ia harus yakin bahwa itu untuk Tuhan dan tanah-air, ia harus menggenggam hidupnya di tangan, siap dilemparkan ke muka siapa saja yang akan merintanginya dari jalan itu. Salah satu: dia menang dan berhasil mencapai kebenaran Tuhan dan tanah-air, seperti yang sudah menjadi keyakinannya, atau ia gugur sebagai syahid. Ini adalah suatu teladan yang hidup bagi angkatan kemudian, dan suatu kenangan abadi buat jiwa besar yang bisa mengerti, bahwa harga hidup itu ialah hidup yang dikurbankan untuk tujuan cita-citanya; bahwa mempertahankan hidup dalam hina seperti menyia-nyiakan hidup. Orang semacam itu tidak perlu lagi nanti dikenang dalam hidup kita. Ada orang yang menerjunkan diri ke dalam bahaya bila terasa hidupnya terancam demikian rupa sehingga ia pun menjadi kurban tujuan yang tidak berharga. Begitu juga ia berarti mengorbankan diri jika ia masih mempertahankan hidupnya padahal oleh Tuhan Yang Maha Kuasa ia diminta supaya hidupnya dilemparkan ke muka kebatilan, supaya dapat menghancurkan kebatilan itu. Tetapi ia lalu bersembunyi di balik tabir, ia sudah takut menghadapi maut, suatu perasaan takut yang sebenarnya lebih celaka daripada maut.
Jadi kalau sikap ragu-ragu yang hanya sedikit saja tampak pada Ibn Rawaha, padahal sesudah itu, dengan keberanian yang luarbiasa ia pun bertempur lagi sampai mati sebagai syahid masih ditempatkan tidak sama dengan Zaid dan Ja’far yang menyerbu barisan maut dengan gembira menghadapi mati sebagai syahid, apalagi buat orang yang lalu berbalik surut hanya karena mengharapkan kedudukan atau harta atau sesuatu tujuan duniawi lainnya ! Kalau begitu tidak lebih dia hanyalah serangga yang hina saja, meskipun kedudukannya di muka orang banyak sudah tinggi dan hartanya sudah melampaui harta karun. Benarlah jiwa manusia itu baru merasa gembira apabila ia sudah dapat berkurban untuk sesuatu yang diyakininya bahwa itu benar, sampai akhirnya ia pun gugur untuk.membela kebenaran itu, atau kebenaran itu dapat menguasai hidupnya!
Ibn Rawaha tewas setelah sebentar ragu-ragu lalu tampil lagi dengan keberanian yang luarbiasa. Sekali ini bendera diambil oleh Thabit b. Arqam [Banu ‘Ajlan], yang kemudian berkata:
“Saudara-saudara kaum Muslimin. Mari kita mencalonkan salah seorang dari kita.”
Mereka segera menjawab:
“Engkau sajalah.”
“Tidak, saya tidak akan mampu,”
Kemudian pilihan mereka jatuh kepada Khalid bin’l-Walid. Diambilnya bendera itu oleh Khalid setelah dilihatnya barisan Muslimin mulai centang-perenang, kekuatan moril mereka mulai kendor. Khalid sendiri seorang jenderal yang cukup ulung, seorang penggerak militer yang tidak banyak bandingannya, Dengan demikian ia mulai memberikan komando. Barisan Muslimin dapat diaturnya kembali. Sekarang dalam menghadapi musuh itu sengaja ia membuat insiden-insiden kecil yang diulur-ulur sampai petang hari. Malamnya kedua pasukan itu tentu akan meletakkan senjata menunggu sampai pagi.
Pada saat itulah Khalid mengambil kesempatan menyusun siasat perangnya. Anak buahnya dipencar-pencar demikian rupa dengan jumlah yang tidak kecil, dalam suatu garis memanjang, yang dikerahkan maju dari barisan belakang. Pagi-pagi bila orang sudah bangun, dirasakannya ada kesibukan dan hiruk-pikuk demikian rupa yang cukup menimbulkan perasaan gentar di kalangan musuh, dengan anggapan bahwa bala bantuan telah didatangkan dari pihak Nabi. Kalau jumlah tiga ribu orang itu pada hari pertama telah membuat peranan begitu besar terhadap pasukan Rumawi dan tidak sedikit pula jumlah mereka yang sudah terbunuh - meskipun tak dapat mereka pastikan - konon apa lagi yang akan dapat mereka lakukan dengan adanya bala bantuan yang baru didatangkan itu, dengan tiada orang yang mengetahui berapa besarnya!
Oleh karena itu pihak Rumawi jadi menjauhkan diri dari serangan Khalid dan senang sekali mereka kalau Khalid tidak sampai menyerang mereka. Tetapi sebenarnya Khalid lebih senang lagi. Ia dapat menarik mundur pasukannya, kembali ke Medinah, setelah mengalami suatu pertempuran yang tidak membawa kemenangan buat pasukan Muslimin, dan yang juga sama tidak membawa kemenangan buat lawan mereka itu.
Bilamana Khalid dan pasukannya sudah hampir sampai di Medinah, Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sudah pula bersama-sama menyongsong mereka. Atas permintaan Muhammad kemudian Abdullah b. Ja’far dibawa dan diangkatnya di depannya. Orang ramai datang menaburkan tanah kepada pasukan tentara itu seraya berkata:
“He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!”
Tapi Rasul segera berkata:
“Mereka bukan pelarian. Tetapi mereka orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah.”
Sungguh pun sudah begitu rupa Muhammad menghibur orang-orang yang baru kembali dari Mu’ta itu, namun Muslimin belum mau juga memaafkan mereka karena penarikan mundur dan mereka kembali itu; sampai-sampai Salama ibn Hisyam tidak mau ikut sembahyang bersama-sama dengan Muslimin yang lain, kuatir masih akan terdengar suara-suara orang bila melihatnya:
“He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah.”
Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan yang berarti dari mereka yang kembali dari Mu,ta itu, terutama tindakan Khalid sendiri, niscaya Mu’ta masih akan dianggap suatu cemar karena pelarian yang telah dicontengkan saudara saudara seagania di kening mereka itu.
Begitu pedih perasaan duka itu menusuk hati Muhammad setelah diketahuinya Zaid dan Ja’far telah tewas. Begitu sedih ia menanggung dukacita karena mereka itu.
Setelah Ja’far mendapat malapetaka, Muhammad pergi sendiri ke rumahnya, dijumpainya isterinya Asma bt. ‘Umais yang pada waktu itu ia sudah membuat adonan roti, anak-anaknya sudah dimandikan, sudah diminyaki dan dibersihkan.
“Bawa kemari anak-anak Ja’far itu,” kata Muhammad kepadanya.
Setelah mereka dibawa, diciuminya anak-anak itu, dengan airmata yang sudah berlinangan.
“Rasulullah,” kata Asma’ gelisah; ia sudah merasa apa yang terjadi. “Demi ayah bundaku! Kenapa menangis, Rasulullah?! Ada hal-hal yang menimpa Ja’far dan kawan-kawannya barangkali?”
“Ya,” jawabnya. “Hari ini mereka tewas.” Berkata begitu airmatanya sudah makin tak dapat ditahan, deras berderai. Asma, juga lalu menangis keras-keras sehingga banyak wanita-wanita yang datang berkumpul.
Bila Muhammad pulang ia berkata kepada keluarganya:
“Keluarga Ja’far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan.” Ketika dilihatnya puteri Zaid - bekas budaknya itu - datang, dibelai-belainya bahunya sambil ia menangis. Ada sahabat-sahabat yang merasa terkejut melihat Rasul menangisi orang yang mati syahid itu. Lalu katanya, yang maksudnya: Tapi itu airmata seorang kawan yang kehilangan kawannya.
Ada sumber yang menyebutkan, bahwa jenazah Ja’far dibawa ke Medinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu Rasul menyuruh orang supaya jangan lagi menangis. Kedua tangan Ja’far yang terputus, oleh Tuhan telah diganti dengan sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga.
Beberapa minggu kemudian setelah Khalid kembali, Muhammad bermaksud hendak mengembalikan pula kewibawaan Muslimin di bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini ia menugaskan ‘Amr bin’l-‘Ash supaya mengerahkan orang-orang Arab ke Syam. Memang demikian, sebab ibn ‘Amr ini berasal dari kabilah daerah itu. Tentu akan lebih mudah ia bergaul dengan mereka. Tetapi setelah ia sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah Judham yang disebut Silsil, mulai ia merasa kuatir. Segera ia mengirim kurir kepada Nabi ‘alaihissalam meminta bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu ‘Ubaida bin’l-Jarrah dari kalangan Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Sebagai orang yang masih baru dalam Islam, Muhammad kuatir ‘Amr akan berselisih dengan Abu ‘Ubaida sebagai anggota Muhajirin yang mula-mula, maka dipesannya kepada Abu ‘Ubaida ketika dilepaskan. Jangan berselisih.
***
“Engkau datang kemari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara ditanganku,” kata ‘Amr kemudian kepada Abu ‘Ubaida.
Abu ‘Ubaida adalah orang yang sangat lemah-lembut, dan serba mudah dalam masalah-masalah duniawi.
“Rasulullah sudah berpesan,” katanya kepada ‘Amr “Kita jangan berselisih. Kalau engkau tidak taat kepadaku, akulah yang taat kepadamu.” Dan dalam melakukan sembahyang jamaah juga ‘Amr yang menjadi imam.
Sekarang ia mulai bergerak maju memimpin pasukannya itu. Pihak Syam yang bermaksud hendak menggempurnya telah diubrak-abrik. Dengan demikian kewibawaan Muslimin di bilangan daerah itu telah dapat dipulihkan
Dalam pada itu Muhammad masih teringat juga pada Mekah dan segala sesuatunya. Akan tetapi, seperti sudah disebutkan, ia sangat memegang teguh isi Perjanjian Hudaibiya. Ia harus menunggu sampai habis waktu dua tahun. Sementara itu satuan-satuan tetap dikirimkan guna menjaga adanya pemberontakan kabilah-kabilah, yang berjiwa memang suka berontak itu. Tetapi hal ini tidak banyak makan tenaga. Utusan-utusan sudah berdatangan kepadanya dari segenap penjuru, mereka sudah menyatakan ketaatan dan kesetiaan yang penuh kepadanya. Hal inilah yang telah merupakan pengantar akan dibebaskannya Mekah serta akan kedudukan Islam yang kukuh di tempat ini, sebagai tempat yang paling disucikan untuk selama-lamanya.
Abu ‘Ubaida adalah orang yang sangat lemah-lembut, dan serba mudah dalam masalah-masalah duniawi.
“Rasulullah sudah berpesan,” katanya kepada ‘Amr “Kita jangan berselisih. Kalau engkau tidak taat kepadaku, akulah yang taat kepadamu.” Dan dalam melakukan sembahyang jamaah juga ‘Amr yang menjadi imam.
Sekarang ia mulai bergerak maju memimpin pasukannya itu. Pihak Syam yang bermaksud hendak menggempurnya telah diubrak-abrik. Dengan demikian kewibawaan Muslimin di bilangan daerah itu telah dapat dipulihkan
Dalam pada itu Muhammad masih teringat juga pada Mekah dan segala sesuatunya. Akan tetapi, seperti sudah disebutkan, ia sangat memegang teguh isi Perjanjian Hudaibiya. Ia harus menunggu sampai habis waktu dua tahun. Sementara itu satuan-satuan tetap dikirimkan guna menjaga adanya pemberontakan kabilah-kabilah, yang berjiwa memang suka berontak itu. Tetapi hal ini tidak banyak makan tenaga. Utusan-utusan sudah berdatangan kepadanya dari segenap penjuru, mereka sudah menyatakan ketaatan dan kesetiaan yang penuh kepadanya. Hal inilah yang telah merupakan pengantar akan dibebaskannya Mekah serta akan kedudukan Islam yang kukuh di tempat ini, sebagai tempat yang paling disucikan untuk selama-lamanya.
0 comments:
Post a Comment