13.5. ‘UMRAT’L-QADZA

BAGIAN KEDUAPULUHSATU
‘UMRAT’L-QADZA1


Highlight

  • Keberangkatan Muslimin ke Mekah 
  • Quraisy keluar dari Mekah   
  • Muslimin memasuki Mekah 
  • Muhammad bertawaf  
  • Perkawinan Muhammad dengan Maimunah 
  • Quraisy menolak dilangsungkan di Mekah 
  • Khalid bin’l-Walid ‘Amr bin’l-‘Ash dan ‘Uthman b. Talha masuk Islam 
SETELAH berjalan setahun sejak berlakunya isi perjanjian Hudaibiya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah bebas dapat melaksanakan isi perjanjian dengan pihak Quraisy itu guna memasuki Mekah dan berziarah ke Ka’bah. Atas dasar itu Muhammad lalu memanggil orang agar bersiap-siap untuk berangkat melakukan ‘umrat’l-qadza, (umrah pengganti) yang sebelum itu telah teralang.

Dengan mudah orang sudah dapat memperkirakan betapa kaum Muslimin menyambut panggilan itu. Ada diantara mereka kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Mekah, kaum Anshar yang sudah memang punya hubungan dagang dengan Mekah dan sudah rindu sekali hendak berziarah ke Ka’bah. Oleh karenanya anggota rombongan itu telah bertambah sampai duaribu orang dari 1400 orang pada tahun yang lalu. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiya tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung. Tetapi Muhammad masih selalu kuatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslama disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Mekah, dan bila sampai di Marr’z-Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.

Ternak kurban itu digiring oleh kaum Muslimin didepan mereka, terdiri dari enampuluh ekor unta, didahului oleh Muhammad diatas untanya sendiri al-Qashwa’. Mereka berangkat dari Medinah dengan hati yang damba hendak memasuki Umm’l-Qura (Mekah) dan bertawaf di Baitullah. Setiap Muhajirin menunggu ingin melihat daerah tempat ia dilahirkan, ingin melihat rumah tempat ia dibesarkan, teman-teman yang ditinggalkan. Ia ingin menghirup udara harum tanah airnya yang suci itu, dengan penuh rasa hormat dan syahdu’ ingin menyentuh bumi daerah suci dan kudus yang penuh berkah itu, yang telah melahirkan Rasul, dan tempat wahyu pertama kali diturunkan.

Orang akan dapat membayangkan suasana kemeriahan yang baru satu-satunya terjadi itu, yang bergerak karena di dorong oleh rasa iman, terbawa oleh Rumah yang oleh Allah dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Dengan mata hatinya orang akan melihat betapa besarnya rasa kegembiraan mereka itu. Orang-orang yang sudah pernah dirintangi hendak menunaikan kewajiban suci itu berangkat dengan penuh kegembiraan, akan memasuki Mekah dalam keadaan aman, dengan bercukur kepala atau bergunting tanpa merasa takut lagi.

Bilamana Quraisy sudah mengetahui kedatangan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Mekah, sesuai dengan bunyi persetujuan Hudaibiya.Mereka pergi ke bukit-bukit berdekatan dan di tempat itu mereka memasang kemah dan yang lain ada pula yang berteduh di bawah-bawah pohon. Dari atas bukit Abu Qubais dan dari atas Hira, atau dari semua tempat ketinggian yang dapat melihat ke Mekah, orang-orang Mekah itu menjenguk, dengan mata ingin tahu, ingin melihat orang yang dengan kawan-kawannya itu dulu terusir, ketika mereka kini datang memasuki Rumah Suci, tanpa ada lagi pihak yang mengalangi.

Sekarang kaum Muslimin sudah mulai menyusur dari arah utara Mekah. Abdullah b. Rawaha ketika itu memegang tali keluan al-Qashwa’ sedang sahabat-sahabat besar lainnya berada di sekeliling Nabi ‘alaihissalam. Barisan yang berjalan di belakang mereka itu terdiri dari orang-orang yang berjalan kaki dan yang duduk di atas unta. Begitu Rumah Suci itu terlihat dihadapan mereka serentak kaum Muslimin itu semua bergema dalam satu suara berseru: Labbaika, labbaika! dengan hati dan jiwa tertuju semata kepada Allah Yang Maha Agung, berkeliling dalam satu lingkaran dengan penuh harap dan hormat kepada Rasul yang telah diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, yang akan mengatasi semua agama. Sebenarnya ini adalah suatu pemandangan yang sungguh unik dalam sejarah, yang dapat menggetarkan segenap penjuru tempat itu, dan yang telah dapat menawan hati orang musyrik ke dalam Islam, betapa pun kerasnya mereka bertahan pada paganisma.

Pada pemandangan yang unik itulah mata penduduk Mekah tertaut. Sementara suara yang keluar dari kalbu menggema: Labbaika, labbaika! tetap menembus telinga dan menggetarkan jantung mereka.

Sesampainya Rasul di mesjid ia menyelubungkan dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka sambil mengucapkan:
“Allahuma irham imra’an arahum al-yauma min nafsihi quwatan.” (“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada orang, yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya.”)

Kemudian ia menyentuh sudut hajar aswad (batu hitam) dan berlari-lari kecil, yang diikuti oleh sahabat-sahabat, juga dengan berlari-lari. Setelah menyentuh ar-rukn’l-yamani (sudut selatan) ia berjalan biasa sampai menyentuh hajar aswad, lalu berlari-lari lagi berkeliling sampai tiga kali dan selebihnya dengan berjalan biasa. Setiap ia berlari kedua ribu kaum Muslimin itu juga ikut berlari-lari, dan setiap ia berjalan mereka pun ikut pula berjalan. Dalam pada itu pihak Quraisy menyaksikan semua itu dari atas bukit Abu Qubais. Pemandangan ini sangat mempesonakan mereka. Tadinya orang bicara tentang Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, bahwa mereka sedang berada dalam kesulitan, dalam keadaan susah payah. Tetapi apa yang mereka lihat sekarang ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu.
[
Karena bersemangatnya dalam saat seperti itu, Abdullah b. Rawaha bermaksud hendak melontarkan kata-kata yang berisi teriakan perang ke muka Quraisy. Tetapi segera dilarang oleh Umar, dan Rasul juga berkata kepadanya:

“Sabarlah, Ibn Rawaha; atau ucapkan sajalah: La ilaha illa Allah wahdah, wanashara abdah wa’a’azza jundah, wakhadhala’l-ah-zaba wahdah.” (“Tiada tuhan selain Allah Yang Tunggal, Yang telah menolong hambaNya, memperkuat tentaraNya dan menghancurkan Sendiri musuh yang bersekutu.”)

Abdullah ibn Rawaha kemudian mengucapkan pula dengan suara keras yang kemudian disambut oleh kaum Muslimin. Suara itu bersahut-sahutan dan berkumandang ke tepi-tepi wadi dengan dahsyat sekali, kedahsyatannya membubung dan menyusup ke dalam jantung orang-orang yang sedang berada di atas gunung-gunung sekitar tempat itu.

Selesai kaum Muslimin bertawaf di Ka’bah, Muhammad berpindah memimpin mereka ke bukit Shafa dan Marwa yang di lalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali, seperti halnya orang Arab dahulu. Kemudian ternak kurban itu disembelih dan dia bercukur. Dengan demikian selesailah sudah ibadah umrah itu dikerjakan.

Keesokan harinya Muhammad memasuki Ka’bah dan tinggal disana sampai waktu sembahyang lohor. Pada waktu itu berhala-berhala masih banyak memenuhi tempat itu. Tetapi meskipun begitu Bilal naik juga ke atap Ka’bah lalu menyerukan adhan untuk bersembahyang lohor di tempat tersebut. Kemudian Nabi bersembahyang dengan bertindak sebagai imam, atas duaribu kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya mereka teralang melakukan salat menurut pimpinan Islam di tempat itu.

Kaum Muslimin tinggal selama tiga hari di Mekah seperti sudah di tentukan dalam Perjanjian Hudaibiya, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di situ kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula sahabat-sahabatnya dari pihak Anshar turut menengoknya. Seolah mereka semua penduduk kota yang aman itu. Mereka semua bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan kewajiban kepada Tuhan dengan melakukan salat dan samasekali menghilangkan sikap tinggi diri, yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi sendiri di tengah-tengah mereka sebagai seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai. Yang seorang di ajaknya tertawa, yang lain di ajaknya bergurau.

Tetapi semua yang dikatakannya selalu yang sebenarnya.

Dalam pada itu orang-orang Quraisy dan penduduk Mekah lainnya, dari tempat-tempat mereka di lereng-lereng bukit menyaksikan sendiri pemandangan yang luarbiasa dalam sejarah itu. Mereka melihat orang-orang dengan akhlak yang demikian rupa - tidak minum minuman keras, tidak melakukan perbuatan maksiat, tidak mudah tergoda oleh makanan dan minuman. Kehidupan duniawi tidak sampai mempengaruhi mereka. Mereka tidak melanggar apa yang dilarang, mereka menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan. Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikian itu, yang sebenarnya telah mengangkat martabat umat manusia ke tingkat yang paling tinggi!

Tidak terlalu sulit orang akan menilai kiranya bila sudah mengetahui, bahwa beberapa bulan kemudian Muhammad telah kembali lagi dan dapat membebaskan Mekah dengan kekuatan sebanyak 10.000 orang Muslimin.

***

Umm’l-Fadzl isteri Abbas b. Abd’l-Muttalib paman Nabi, telah mewakili Maimunah saudaranya ketika perkawinannya dilangsungkan. Maimunah ketika itu berusia duapuluh enam tahun, dan dia adalah bibi Khalid bin’l-Walid dari pihak ibu. Umm’l-Fadzl meminta Abbas suaminya bertindak mewakilinya dalam mengawinkan saudaranya itu. Maimunah sendiri setelah melihat keadaan umat Islam dalam ‘umrat’l-qadza’ hatinya tertarik sekali kepada Islam. Kemudian datang Abbas yang meminang kemenakannya itu agar ia sudi mengawini Maimunah. Tawaran ini diterima oleh Muhammad dan diberinya mas kawin sebesar 400 dirham.

Waktu tiga hari yang sudah ditentukan menurut Perjanjian Hudaibiya telah berakhir. Akan tetapi dengan perkawinannya dengan Maimunah itu Muhammad ingin memperpanjang waktunya supaya didapat jalan lebih baik dalam mengadakan saling pengertian dengan pihak Quraisy.

Akan tetapi pada waktu itu juga dari pihak Quraisy Suhail b. ‘Amr dan Huwaitib b. ‘Abd’l ‘Uzza datang kepada Muhammad dengan mengatakan:

“Waktumu sudah habis; silakan keluar.”

“Apa salahnya kalau kamu membiarkan aku selama melangsungkan perkawinan berada di tengah-tengah kamu? Kami akan membuat jamuan dan kalian ikut hadir,” demikian jawaban Muhammad kepada mereka, dengan kesadaran betapa dalamnya ‘umrat’l-qadza’ itu meninggalkan kesan dalam hati penduduk Mekah, betapa benar hal itu mempesonakan mereka, membuat sikap permusuhan mereka jadi reda. Ia mengetahui, bahwa kalau mereka mau memenuhi undangannya untuk perjamuan itu dan dapat saling mengadakan dialog, maka dengan mudah pintu Mekah akan terbuka di hadapannya. Dan ini pulalah yang dikuatirkan oleh Suhail dan Huwaitib, dan karena itu mereka berkata lagi:

“Kami tidak memerlukan jamuanmu. Keluar sajalah.”

Dengan tidak ragu-ragu Muhammad pun mengalah kepada permintaan mereka sesuai dengan perjanjian yang harus dilaksanakan. Kepada segenap Muslimin diumumkan siap-siap meninggalkan tempat. Sesudah itu ia pun berangkat dengan diikuti kaum Muslimin. Ketika itu yang tinggal ialah Abu Rafi’, bekas budaknya yang kemudian menyusul membawa Maimunah ke Sarif2 dan perkawinan dilangsungkan di sana Dan Maimunah sebagai Umm’l-Mu’minin adalah isteri Nabi yang terakhir yang masih hidup limapuluh tahun kemudian sesudah Nabi wafat. Ia minta dikuburkan di tempat Rasulullah melangsungkan perkawinannya. Salma, janda pamannya Hamzah dan saudara perempuan Maimunah serta ‘Ammara (puteri Hamzah) yang masih perawan belum kawin, telah menjadi tanggungan Muhammad pula.

Kaum Muslimin sudah sampai kembali dan sudah menetap lagi di Medinah. Dalam pada itu Muhammad pun yakin bahwa ‘umrat’l-qada’ itu telah meninggalkan pengaruh yang cukup besar dalam hati Quraisy dan seluruh penduduk Mekah. Juga ia yakin bahwa sebagai akibat semua itu akan timbul pula peristiwa-peristiwa penting yang berjalan cepat sekali.

Sejarah telah membenarkan perkiraannya. Begitu ia berangkat kembali ke Medinah, Khalid bin’l-Walid - Jenderal Kavaleri kebanggaan Quraisy dan pahlawan perang Uhud itu telah berdiri di tengah-tengah sidang masyarakatnya sendiri sambil berkata:

“Sekarang nyata sudah bagi setiap orang yang berpikiran sehat, bahwa Muhammad bukan tukang sihir, juga bukan seorang penyair. Apa yang dikatakannya adalah firman Tuhan semesta alam ini. Setiap orang yang punya hati nurani berkewajiban menjadi pengikutnya.”

‘Ikrima b. Abi Jahl merasa ngeri sekali mendengar kata-katanya itu.

“Khalid,” kata ‘Ikrima kemudian, “engkau telah bertukar
agama.”3

Selanjutnya terjadi percakapan antara mereka sebagai berikut:

Khalid Aku tidak bertukar agama, tetapi aku mengikuti agama Islam.

‘Ikrima Tak ada orang akan berkata begitu di kalangan Quraisy selain engkau.

Khalid - Mengapa?

‘Ikrima - Ya, sebab Muhammad sudah menjatuhkan derajat ayahmu ketika ia dilukai. Pamanmu dan sepupumu sudah dibunuhnya di Badr. Demi Allah, aku tidak akan masuk Islam dan tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti kau itu, Khalid. Engkau tidak melihat Quraisy yang sudah berusaha hendak membunuhnya?

Khalid - Itu hanya semangat dan fanatisma jahiliah. Tetapi sekarang, setelah kebenaran itu bagiku sudah jelas, demi Allah aku mengikut agama Islam.

Setelah itu Khalid lalu mengutus pasukan berkudanya kepada Nabi menyatakan dirinya masuk Islam dan mengakuinya.

Khalid menganut Islam ini beritanya kemudian sampai juga kepada Abu Sufyan. Khalid di panggil.

“Benarkah apa yang kudengar tentang engkau?” tanya Abu Sufyan. Setelah dijawab oleh Khalid, bahwa memang benar, Abu Sufyan marah-marah seraya katanya:

“Demi Lata dan ‘Uzza. Kalau aku sudah mengetahui apa yang kaukatakan benar, niscaya engkaulah yang akan kuhadapi, sebelum aku menghadapi Muhammad.”

“Dan memang itulah yang benar, apa pun yang akan terjadi.”

Terbawa oleh kemarahannya ketika itu juga Abu Sufyan maju hendak menyerangnya. Tetapi ‘Ikrima yang pada waktu itu turut hadir segera bertindak mengalanginya seraya berkata:

“Abu Sufyan, sabarlah. Seperti engkau, aku juga kuatir kelak akan mengatakan sesuatu seperti kata-kata Khalid itu dan ikut ke dalam agamanya. Kamu akan membunuh Khalid karena pandangannya itu, padahal seluruh Quraisy sependapat dengan dia. Sungguh aku kuatir, jangan-jangan sebelum bertemu tahun depan seluruh penduduk Mekah sudah menjadi pengikutnya.”

Sekarang Khalid sudah pergi meninggalkan Mekah ke Medinah. Ia menggabungkan diri ke dalam barisan Muslimin

Sesudah Khalid, ikut pula ‘Amr bin’l-‘Ash dan ‘Uthman b. Talha penjaga Ka’bah, masuk Islam. Dengan masuknya mereka kedalam agama Islam, maka banyak pula penduduk Mekah yang turut menjadi pengikut agama ini. Dengan demikian kedudukan Islam makin menjadi kuat, dan terbukanya pintu Mekah buat Muhammad sudah tidak diragukan lagi.

Catatan kaki:
1 Umra berarti ziarah ke Mesjid Suci dengan syarat-syarat tertentu. (N) dalam melakukan ibadah “haji kecil” yang berbeda dengan ibadah haji yang biasa, tidak mesti dilakukan dalam waktu khusus selama dalam setahun. ‘Umrat’l-Qadziya, kata qadza dapat diartikan pengganti yakni pengganti umrah yang tidak jadi dilaksanakan karena dirintangi oleh pihak Quraisy di Hudaibiya, atau dengan arti penunaian yaitu menunaikan isi perjanjian Hudaibiya, bahwa Ibadah itu dapat dilakukan pada tahun berikutnya setelah berlakunya perjanjian. Lepas dari pengertian fikih dalam terjemahan ini dipakai arti yang pertama. (A).
2 Sarif sebuah tempat di dekat Mekah, yang didalam memperkirakan jaraknya masih terdapat perbedaan pendapat antara 6 dan 12 mil.
3 Bertukar agama (apostasi), shaba’a, harfiah berarti berputar ke, pindah dari, suatu agama kepada agama lain (N). Maksudnya berbalik menganut agama Islam. Menurut LA masih seakar dengan Sabianisma (lihat halaman 33), suatu tuduhan yang populer di kalangan Quraisy (A).




0 comments:

Post a Comment