12.8. PERJANJIAN HUDAIBIYA

BAGIAN KEDUAPULUH
PERJANJIAN HUDAIBIYA
[Tulisan 2 Dari 3]


Mendengar itu ia mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa turun kedalam salah sebuah sumur yang banyak tersebar di tempat itu. Bila anakpanah itu ditancapkan ke dalam pasir pada dasar sumur ketika itu airpun memancar. Orang baru merasa puas dan merekapun turun.

Mereka turun dari kendaraan. Akan tetapi pihak Quraisy di Mekah selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada membiarkan Muhammad memasuki wilayah mereka dengan cara kekerasan sekalipun. Adakah agaknya mereka sudah mengadakan persiapan dan perlengkapan perang guna menghadapi Quraisy, kemudian Tuhan yang akan menentukan nasib mereka masing-masing dan Tuhan juga yang akan memutuskan persoalannya jika sudah mesti terjadi?!

Kearah inilah mereka sebagian berpikir dan pada kemungkinan ini pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya hal ini memang teriadi dan yang mendapat kemenangan pihak Muslimin, tentu tamatlah riwayat Quraisy itu di mata orang, untuk selama-lainanya- Posisi Quraisy jadi terancam kalau begitu, jabatan menjaga Ka’bah dan mengurus air para pengunjung dan segala macam upacara keagamaan yang dibanggakan kepada masyarakat Arab itu, akan hilang dari tangan mereka. Jadi apa yang harus mereka lakukan kalau begitu? Kedua kelompok itu masing-masing sekarang sedang memikirkan langkah berikutnya. Adapun Muhammad sendiri ia tetap berpegang pada langkah yang sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk ‘umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran; kecuali jika pihak Quraisy menyerangnya atau mengkhianatinya; tak ada jalan lain iapun harus menghunus pedang.

“Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Kemudian terpikir oleh mereka akan mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka; dan satu segi untuk menjajagi kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan sampai masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya ialah Budail b. Warqa’ dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku Khuza’a. Oleh mereka ditanyakan, gerangan apa yang mendorongnya datang. Setelah dalam pembicaraan itu mereka merasa puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang, melainkan hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah Suci, merekapun pulang kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan Quraisy, supaya orang itu dan sahabat-sahabatnya dibiarkan saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh dan tidak diterima baik oleh Quraisy. Dikatakannya kepada mereka: Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia takkan masuk kemari secara paksa dan kitapun takkan menjadi bahan pembicaraan orang.

Kemudian Quraisy mengutus orang lain yang sudah mengetahui keadaan mereka dari orang yang sudah diutus sebelumnya. Ia tidak akan serampangan supaya jangan dituduh pula oleh Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi Muhammad itu Quraisy banyak menyandarkan diri kepada sekutunya dari golongan Ahabisy5. Terpikir oleh Quraisy pemimpin mereka ini yang hendak di utus, kalau-kalau bila sudah diketahui bahwa Muhammad tidak juga mau mengerti dan tidak ada saling pengertian dengan dia Quraisy akan merasa lebih mendapat dukungan dan akan lebih kuat mereka menghadapi Muhammad. Untuk itu maka berangkatlah Hulais pemimpin Ahabisy itu menuju ke perkemahan Muslimin.

Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya ternak kurban itu dilepaskan didepan matanya, supaya dapat melihat dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang sudah jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak diperangi itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah ke Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuhpuluh ekor itu, mengalir dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Terharu sekali ia melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan ingin berperang atau mencari permusuhan.

Sekarang ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam.

“Duduklah,” kata mereka kepada Hulais. “Engkau ini Arab badui yang tidak tahu apa-apa.”

Mendengar itu Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah, dan tidak semestinya mereka akan mencegah Muhammad dan beberapa orang Ahabisy yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan akibat kemarahannya itu, Quraisy mencoba membujuknya kembali dan memintanya supaya menunda sampai dapat mereka pikirkan lebih lanjut.

Kemudian terpikir oleh mereka hendak mengutus orang yang bijaksana dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal ini mereka bicarakan kepada ‘Urwa ibn Mas’ud ath-Thaqafi. Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka yang keras dan memperlakukan tidak layak terhadap kepada utusan yang sebelumnya, mereka meminta maaf kepada ‘Urwa. Setelah mereka minta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa mereka sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan yakin sekali akan kebijaksanaan dan pandangannya yang baik, ia pun berangkat menemui Muhammad dan dikatakannya bahwa Mekah juga tanah tumpah darahnya yang harus dipertahankan. Kalau ini sampai dirusak, yang akan diderita oleh penduduk yang tinggal di tempat itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang campur-aduk, kemudian dia ditinggalkan oleh rakyat jelata itu, maka yang akan mengalami kecemaran yang cukup parah adalah Quraisy, suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak diinginkan, sekalipun antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.

Ketika itu Abu Bakr berkata kepada ‘Urwa dengan membantah keras, bahwa orang akan meninggalkan Rasullullah. ‘Urwa mengajaknya berbicara sambil memegang janggut Muhammad. Sedang Mughira bin Syu’ba yang berdiri di arah kepala Rasul memukul tangan ‘Urwa setiap ia memegang janggut Muhammad meskipun ia sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, ‘Urwa pernah menebuskan tigabelas diat atas beberapa orang yang telah dibunuh oleh Mughira.

Sekarang ‘Urwa pulang kembali setelah ia mendapat keterangan dari Muhammad sama seperti yang juga diberikan kepada mereka yang datang sebelumnya, bahwa kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Rumah Suci, menunaikan kewajiban kepada Tuhan.

“Saudara-saudara,” katanya setelah ia berada kembali di tengah-tengah masyarakat Quraisy. “Saya sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dengan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudu, sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik.”

Pembicaraan seperti yang kita kemukakan itu berjalan lama juga. Terpikir oleh Muhammad, mungkin utusan-utusan Quraisy itu tidak berani menyampaikan pendapatnya yang akan dapat meyakinkan pihak Quraisy. Oleh karena itu dari pihaknya ia lalu mengutus orang menyampaikan pendapatnya itu. Akan tetapi disini unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan itu hendak mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah dan utusan itu dilepaskan. Ini menunjukkan, bahwa dengan tingkah-lakunya itu pihak Mekah memang sudah dikuasai oleh jiwa kebencian dan permusuhan, yang membuat pihak Muslimin gelisah tidak sabar lagi, sampai-sampai ada diantaranya yang sudah berpikir sampai ke soal perang.

Sementara mereka sedang berusaha hendak mencapai persetujuan dengan jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang tidak bertanggungjawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar dan mereka ini melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka ini pada suatu ketika sampai empatpuluh atau limapuluh orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada Nabi. Tahukah kita apa yang dilakukannya? Mereka itu dimaafkan semua dan dilepaskan, sebagai suatu tanda ia ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci, jangan ada pertumpahan darah di Hudaibiya, yang juga termasuk daerah suci Mekah. Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi mereka, jadi gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa semua tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad, oleh pihak Arab hanya akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri dengan segala kekuatan yang ada.

Kemudian Nabi ‘alaihissalam sekali lagi berusaha hendak menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Umar bin’l-Khattab dipanggil dan dimintainya menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy.

“Rasulullah,” kata Umar. “Saya kuatir Quraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah tidak ada pihak Banu ‘Adi b. Ka’b yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal ini daripada saya yaitu Usman b. ‘Affan.”

Nabipun segera memanggil Usman b. ‘Affan -menantunya- dan diutusnya kepada Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Bila Usman berangkat membawa pesan itu, ketika memasuki Mekah terlebih dulu ia menemui Aban b. Sa’id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa tugas itu sampai selesainya. Sekarang Usman berangkat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy itu dan menyampaikan pesannya.
Tetapi kata mereka kepadanya:

“Usman, kalau engkau mau bertawaf di Ka’bah, bertawaflah.”

“Saya tidak akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf,” jawab Usman. “Kedatangan kami kemari hanya akan berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa binatang korban, setelah disembelih kamipun akan kembali pulang dengan aman.”

Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun ini Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan itu jadi lama, dan lama pula Usman menghilang dari Muslimin. Desas-desus segera timbul di kalangan mereka bahwa pihak Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan dengan tipu-muslihat. Boleh jadi sementara itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan Usman sedang sama-sama mencari suatu rumusan jalan tengah antara sumpah mereka supaya Muhammad jangan datang ke Mekah tahun ini dengan kekerasan, dengan keinginan pihak Muslimin yang akan bertawaf di Ka’bah serta menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Boleh jadi juga mereka sudah akrab kepada Usman dan dalam pada itu mereka sama-sama mencari suatu cara yang akan mengatur hubungan mereka dengan Muhammad dan hubungan Muhammad dengan mereka.

Akan tetapi bagaimanapun juga pihak Muslimin di Hudaibiya sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman dalam bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di sekitar Ka’bah atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang pula oleh mereka kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang datang mengunjungi mereka membawa pesan perdamaian dan tidak saling menyerang. Oleh karena itu mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, suatu tanda mengancam, tanda kekerasan dan kemarahan. Juga Nabi ‘a.s, sudah merasa kuatir bahwa Quraisy telah mengkhianati dan membunuh Usman dalam bulan suci itu. Lalu katanya:

“Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat menghadapi mereka.”

Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil ia berdiri di bawah sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka semua berikrar (berjanji setia) kepadanya untuk tidak akan beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua berikrar kepadanya dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka menyatakan ikrar kepadanya (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai’at’r Ridzwan (Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman Tuhan ini turun:

“Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati mereka, lalu di turunkanNya kepada mereka rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat ini.” (Qur’an, 48: 18)

Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi ‘a.s. menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam Ikrar Ridzwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi Muslimin perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela hati.

Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba tersiar pula berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula dengan kedatangan Usman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu Ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar ‘Aqaba Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali menyebutnya, sebab disini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa benar keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh kemenangan.

Usman kembali. Apa yang di katakan Quraisy disampaikannya kepada Muhammad. Mereka sudah tidak ragu-ragu lagi bahwa kedatangannya dengan sahabat-sahabatnya itu hanya akan menunaikan ibadah haji. Mereka juga menyadari bahwa mereka tidak melarang siapa saja dari kalangan Arab yang akan datang berziarah dan melakukan umrah dalam bulan-bulan suci itu. Akan tetapi mereka sudah lebih dulu berangkat di bawah panji Khalid bin’l-Walid dengan tujuan akan memerangi dan mencegahnya masuk ke Mekah. Dan memang sudah terjadi benterokan-benterokan antara anak buah mereka dengan anak buah Muhammad. Kalau sesudah peristiwa itu mereka membiarkannya masuk ke Mekah, kalangan Arab akan bicara bahwa mereka sudah kalah menyerah kepadanya. Kedudukan dan kewibawaan mereka di mata orangsrang Arab itu akan jatuh. Oleh karena itu dengan maksud menjaga kewibawaan dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap bertahan pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia juga memikirkan seperti mereka. Dia dan mereka, dengan sikapnya masing-masing. Begini ini pendiriannya dan begitu jalan keluar dari pendirian dan sikap masing-masing itu. Sebab kalau tidak, mau tidak mau tentu hanya jalan perang yang dapat ditempuh. Tetapi sebenarnya dalam bulan-bulan suci mereka tidak mau; dari satu segi mereka menghormati kesucian agama, dan dari segi lain, bila bulan suci ini sekarang tidak dihormati dan terjadi peperangan, maka untuk hari depan orang-orang Arab itu sudah merasa tidak aman lagi datang ke Mekah atau ke pasaran kota itu, sebab kuatir bulan-bulan suci itu akan dilanggar lagi. Ini suatu perkosaan terhadap perdagangan Mekah dan mata pencarian penduduk kota itu.

Pembicaraan diteruskan. Perundingan-perundingan antara kedua belah pihak sudah dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail b. ‘Amr dengan pesan:

“Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan.”

Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang lebar segera pula dibicarakan. Sekali-sekali pembicaraan itu hampir saja terputus, yang kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua belah pihak sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan- itu.

Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah, sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang teguh kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke Mekah atau sebaliknya.

Sampai pada akhir perundingan itu Umar bin’l-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan berikut ini:

Umar: “Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Bukankah kita ini Muslimin?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”
Abu Bakr: “Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia Rasulullah.”

Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya pembicaraan itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu ialah:

“Saya hamba Allah dan RasulNya. Saya takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya.”


Catatan kaki:
5 Ahabisy ialah perkampungan di pegunungan (sebuah kabilah Arab ahli pelempar panah). Dinamakan demikian, karena warna kulit mereka yang hitam sekali, atau karena sifatnya yang mengelompok, atau juga di hubungkan pada Hubsy, nama sebuah gunung di hilir Mekah (lihat juga halaman 311).



0 comments:

Post a Comment