BAGIAN KESEMBILANBELAS
DARI DUA PEPERANGAN SAMPAI KE HUDAIBIYA
[Tulisan 3 Dari 3]
DARI DUA PEPERANGAN SAMPAI KE HUDAIBIYA
[Tulisan 3 Dari 3]
Sebenarnya tidak perlu sampai menjadi buah bibir; dia memasuki Medinah di depan mata orang banyak, di belakang pasukan tentara yang juga datang dalam waktu hampir bersamaan sehingga tidak perlu harus menimbulkan sesuatu prasangka. Dia datang disaksikan oleh orang banyak dengan wajah bersih dan berseri-seri, tak ada tanda-tanda yang akan menimbulkan kecurigaan. Seharusnya biarlah kota Medinah berjalan seperti biasa. Biarlah hasil rampasan perang dan tawanan perang Banu Mushtaliq itu dibagi-bagi antara sesama kaum Muslimin, biarlah mereka menikmati hidup sejahtera, yang makin hari sudah makin terasa. Iman mereka pun makin dalam menanamkan rasa harga diri dalam menghadapi musuh, di samping adanya kesungguhan hati, keberanian menghadapi maut demi Allah, untuk agama dan untuk kebebasan orang lain menganut kepercayaan agamanya, kebebasan yang sebelum itu tidak pula dikenal oleh masyarakat Arab.
Juwairia bint’l-Harith termasuk salah seorang tawanan perang Banu Mushtaliq. Dia memang seorang wanita cantik dan manis. Ia jatuh menjadi bagian salah seorang Anshar. Dalam hal ini ia ingin menebus diri, tetapi mengetahui bahwa dia puteri seorang pemuka Banu Mushtaliq, dan ayahnya akan mampu menebus berapa saja diminta, maka tebusan yang diminta itu cukup tinggi. Kuatir akan membawa akibat yang melampaui batas, maka Juwairia sendiri segera pergi menemui Nabi, yang ketika itu sedang berada di rumah Aisyah.
“Saya Juwairia puteri al-Harith bin Abi Dzirar, pemimpin masyarakat,” katanya. “Saya mengalami bencana, seperti sudah tuan ketahui tentunya. Tetapi karena saya sudah menjadi milik si anu, maka saya telah memajukan penawaran guna membebaskan diri saya. Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan tuan mengenai penawaran saya itu.”
“Maukah engkau dengan yang lebih baik dari itu?” tanya Nabi
“Apa?”
“Saya penuhi penawaranmu dan saya kawin dengan kau.”
Setelah berita itu tersiar, sebagai penghormatan kepada semenda Rasulullah dengan Banu Mushtaliq, tawanan-tawanan perang yang ada di tangan mereka segera mereka bebaskan; sehingga mengenai Juwairia ini Aisyah pernah berkata: Tak pernah saya lihat ada seorang wanita lebih besar membawa keuntungan buat golongannya seperti dia ini.
Demikianlah sebuah sumber menyebutkan Ada pula sumber lain yang mengatakan, bahwa al-Harith b. Abi Dzirar datang mengunjungi Nabi hendak menebus puterinya itu, dan dia sendiri pun masuk Islam setelah dia percaya akan ajaran Nabi, dan bahwa dia mengambil Juwairia puterinya yang juga lalu masuk Islam seperti ayahnya. Kemudian Muhammad meminangnya dan mengawininya, dengan mas kawin sebesar 400 dirham.
Seterusnya sumber ketiga menyebutkan, bahwa ayahnya tidak senang dengan perkawinan ini, bahkan dia tidak setuju, dan bahwa yang mengawinkannya dengan Nabi ialah salah seorang kerabatnya tanpa sekehendak ayahnya.
Setelah Muhammad kawin dengan Juwairia, dibuatkannya rumah di samping rumah-rumah isterinya yang lain didekat mesjid. Dengan demikian ia menjadi Ibu kaum Muslimin pula.
Sementara itu orang di luaran mulai pula berbisik-bisik kenapa Aisyah terlambat di belakang pasukan tentara dan datang bersama Shafwan menumpang untanya, sedang Shafwan seorang pemuda yang tampan dan tegap.
Saudara perempuan Zainab bt. Jahsy yang bernama Hamna, sudah mengetahui bahwa Aisyah dalam hati Muhammad mempunyai tempat melebihi saudaranya itu. Ia segera menyebarkan desas-desus orang tentang Aisyah ini. Ia mendapat dukungan Hassan b. Thabit, dan Ali b. Abi Talib juga menyambutnya.
Dengan demikian Abdullah b. Ubayy merasa mendapat tanah yang subur dalam usahanya menyebarkan bibit berita itu, yang sekaligus merupakan obat penawar pula terhadap api kebencian yang ada dalam hatinya. Mati-matian ia berusaha menyebar-luaskan berita itu. Akan tetapi dalam hal ini kalangan Aus telah menentukan sikap hendak membela Aisyah. Aisyah adalah lambang kesucian dan seorang wanita yang berakhlak tinggi, yang patut menjadi teladan Peristiwa ini hampir saja menjadi suatu fitnah di Medinah.
Berita-berita ini kemudian sampai juga kepada Muhammad. Ia jadi gelisah. Apa? Aisyah akan mengkhianatinya? Tidak mungkin! Itu adalah perbuatan keji dan bertentangan. Dengan rasa cinta dan kasihnya kepada Aisyah hal yang hanya didasarkan pada prasangka semacam itu adalah suatu dosa besar. Ya. Tetapi wanita! Cih! Siapa pula gerangan yang dapat menduga lubuk hati mereka. Lagi pula Aisyah masih muda belia. Kalung serupa apa benar yang hilang dan dicarinya pada malam buta serupa itu? Kenapa hal itu tidak disebut-sebut ketika mereka masih berada di markas? Nabi sendiri masih dalam kebingungan, belum tahu ia, akan percayakah atau tidak.
Orang tak ada yang berani menyampaikan desas-desus itu kepada Aisyah, meskipun ia sendiri sudah merasa aneh melihat sikap suaminya yang kaku, yang belum pernah di lihatnya dan memang tidak sesuai dengan perangainya yang selalu lemah-lembut, selalu penuh kasih kepadanya.
Kemudian Aisyah jatuh sakit, sakit yang cukup keras. Bila ia datang menengoknya dan ibunya ada di tempat itu merawatnya, tidak lebih ia hanya berkata: “Bagaimana?” Sungguh pilu hati Aisyah merasakannya bila ia melihat sikap Nabi begitu kaku kepadanya. Ia bicara dengan hatinya sendiri, tidakkah karena Juwairia yang sekarang menggantikan tempatnya dalam hati suaminya? Begitu sesak dadanya karena sikap Muhammad yang kaku kepadanya itu, sehingga pernah ia berkata:
“Kalau kauijinkan, aku akan pindah ke rumah ibu, supaya ia dapat merawatku.”
Ia pun pindah ke tempat ibunya. Sikapnya yang berlebih-lebihan itu menimbulkan kepedihan pula dalam hatinya sendiri. Lebih dari duapuluh hari ia menderita sakit, baru kemudian ia sembuh. Segala pembicaraan orang yang terjadi tentang dirinya, dia tidak tahu.
Sebaliknya Muhammad, ia merasa sangat terganggu karena berita-berita yang disebarkan orang itu. Sekali ia mengucapkan pidato ini di hadapan orang banyak.
“Saudara-saudara, kenapa orang-orang mengganggu saya mengenai keluarga saya. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya mengenai diri saya. Padahal yang saya ketahui mereka itu orang baik-baik. Lalu mereka mengatakan sesuatu yang ditujukan kepada seseorang, yang saya ketahui, demi Allah, dia juga orang baik; tak pernah ia datang ke salah satu rumah saya hanya jika bersama dengan saya.”
Kemudian Usaid b. Hudzair berdiri seraya berkata:
“Rasulullah, kalau mereka itu dan saudara-saudara kami kalangan Aus, biarlah kami selesaikan, dan kalau mereka itu dan saudara-saudara kami golongan Khazraj perintahkanlah juga kepada kami. Sungguh patut leher mereka itu dipenggal.”
Akan tetapi Sa’d b. ‘Ubada lalu menjawab, bahwa dia berani mengatakan itu karena dia mengetahui bahwa mereka dari golongan Khazraj. Kalau mereka itu dari Aus tentu takkan mengatakannya. Orang ramai lalu mengadakan berundingan dan hampir-hampir terjadi suatu bencana fitnah, kalau tidak karena Rasul segera campur tangan dengan suatu kebijaksanaan yang baik sekali.
Akhirnya, berita itu pun sampai juga kepada Aisyah, diceritakan oleh seorang wanita dari Muhajirin. Terkejut sekali mendengar berita itu, hampir-hampir ia jatuh pingsan. Ia menangis tersedu-sedu, tak dapat lagi ia menahan airmata yang begitu deras berderai, sehingga terasa seolah pecah jantungnya. Ia pergi menjumpai ibunya, dengan membawa beban perasaan yang cukup berat, hampir-hampir terbawa jatuh terhuyung.
“Ampun, Ibu,” katanya, dengan suara tersekat oleh air mata. “Orang-orang sudah begitu rupa bicara di luar, tapi samasekali tidak ibu katakan kepada saya.”
Melihat kesedihan yang begitu menekan perasaan, ibunya berusaha hendak meringankannya. “Anakku,” katanya, “Jangan terlampau gundah. Seorang wanita cantik yang dimadu, yang dicintai suami, tidak jarang menjadi buah bibir madunya dan buah bibir orang.”
Akan tetapi dengan kata-kata itu Aisyah belum terhibur juga. Kembali ia merasa lebih pedih lagi bila teringat sikap Nabi kepadanya yang terasa kaku, padahal tadinya sangat lemah-lembut. Ia merasa, bahwa berita itu tampaknya terkesan juga dalam hati Nabi, dan karenanya ia jadi curiga. Tetapi, gerangan apa yang akan dapat diperbuatnya? Akan dimulainya sajakah ia yang bicara serta menyebutkan berita itu, dan akan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berdosa? Jadi kalau begitu ia menuduh diri sendiri, kemudian menyanggah tuduhan itu dengan sumpah dan permohonan. Ataukah sudah saja membuang muka seperti dia, dan juga membalasnya bersikap kepadanya seperti dia, pula? Tetapi dia adalah Rasul Allah, dia telah memilihnya diatas isteri-isterinya yang lain. Bukan salah dia kalau orang sampai menyiarkan desas-desus tentang dirinya, karena dia telah terlambat dari pasukan tentara dan kembali pulang dengan Shafwan. Ya Allah! Berikanlah jalan keluar kepadanya dalam suasana yang demikian rumit itu, supaya terbuka kepada Muhammad keadaan yang sebenarnya tentang dirinya itu, supaya ia pun kembali seperti dalam suasana semula, penuh cinta, penuh kasih dan selalu lemah-lembut kepadanya.
Tetapi keadaan Muhammad sebenarnya tidak lebih enak dari Aisyah. Ia merasa tersiksa karena percakapan orang mengenai dirinya itu, sehingga akhirnya terpaksa ia meminta pendapat sahabat-sahabatnya yang terdekat: apa yang akan diperbuatnya. Ia pergi ke ramah Abu Bakr, Ali dan Usama bin Zaid dipanggilnya akan dimintai pendapat. Usama ternyata menolak sama sekali segala tuduhan yang dilemparkan orang kepada Aisyah itu. Itu bohong dan tidak punya dasar. Sebagaimana Nabi mengenalnya, orang lain pun juga mengenal dia sebagai seorang wanita yang sangat baik. Sebaliknya Ali. Ia berkata:
“Rasulullah, wanita yang lain banyak.” Lalu sarannya supaya menanyai bujang pembantu Aisyah, kalau-kalau ia dapat dipercaya. Pembantu rumah itu pun dipanggil. Ali berdiri menghampirinya, lalu memukulnya yang cukup membuat bujang itu merasa kesakitan seraya berkata: “Katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah!”
“Demi Allah yang saya ketahui dia adalah baik,” jawab pembantu rumah itu. Segala tuduhan jahat yang ditujukan kepada Aisyah dibantahnya.
[
Akhirnya tak ada jalan lain Muhammad harus menemui sendiri isterinya dan dimintanya supaya mengaku. Ia masuk menemui Aisyah; di tempat itu ada ayahnya dan seorang wanita dari Anshar. Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga turut pula menangis. Tiada terderita olehnya betapa dalamnya kesedihannya itu mencabik hati, tergetar ia setelah mengetahui bahwa oleh Muhammad ia dicurigai. Dicurigai oleh itu laki-laki yang sangat dicintainya, dipujanya, laki-laki yang sangat dipercayainya, tempat dia rela mati untuknya.
Melihat kedatangannya itu, disekanya airmatanya, dan terdengar olehnya ketika ia berkata:
“Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang menjadi pembicaraan orang. Hendaknya engkau takut kepada Allah jika engkau telah melakukan suatu kejahatan seperti apa yang dikatakan orang. Bertaubatlah engkau kepada Allah, sebab Allah akan menerima segala taubat yang datang dari hambaNya.”
Selesai kata-kata itu diucapkan, Aisyah merasa darahnya sudah mendidih. Airmatanya jadi kering. Ia menoleh ke arah ibunya dan ke arah ayahnya. Ia menunggu bagaimana mereka akan menjawab. Tetapi ternyata mereka diam, tiada sepatah kata pun yang keluar dari mereka. Hati Aisyah makin panas, seraya katanya:
“Kenapa kalian tidak menjawab?”
“Sungguh kami tidak tahu bagaimana harus kami jawab,” jawab mereka.
Lalu mereka berdua kembali terdiam lagi. Ketika itulah ia tak dapat menahan diri. Ia menangis lagi tersedu-sedu. Airmatanya itu telah dapat meredakan api amarah yang menyala-nyala seolah hendak membakar jantungnya. Sambil menangis itu kemudian ia bicara, ditujukan kepada Nabi:
“Demi Allah, sama sekali saya tidak akan bertaubat kepada Tuhan seperti yang kausebutkan itu. Saya tahu, kalau saya mengiakan apa yang dikatakan orang itu, sedang Tuhan mengetahui bahwa saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan sesuatu yang tak ada. Tetapi kalau pun saya bantah, kalian takkan percaya.” Ia diam sebentar. Kemudian sambungnya lagi:
“Saya hanya dapat berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf: ‘Maka sabar itulah yang baik, dan hanya Allah tempat meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan itu!”
Sejenak jadi sunyi, setelah terjadi pergolakan itu. Orang tidak tahu pasti sampai berapa lama hal itu berjalan. Akan tetapi begitu Muhammad hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba ia terlelap oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya. Pakaiannya segera diselimutkan kepadanya dan sebuah bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.
Dalam hal ini Aisyah berkata: “Saya sendiri sama sekali tidak merasa takut dan tidak peduli setelah melihat kejadian ini. Saya sudah mengetahui, bahwa saya tidak berdosa dan Allah tidak akan berlaku tidak adil terhadap diri saya. Sebaliknya orangtua saya, setelah Rasulullah s.a.w. terjaga, saya kira nyawa mereka akan terbang karena ketakutan, kalau-kalau wahyu dari Allah akan memperkuat apa yang dikatakan orang.”
Setelah Muhammad terjaga, ia duduk kembali, dengan bercucuran keringat. Sambil menyeka keringat dari dahi ia berkata:
“Gembirakanlah hatimu, Aisyah! Tuhan telah membebaskan kau dari tuduhan.”
“Alhamdulillah,” kata Aisyah.
Kemudian Muhammad pergi ke mesjid, dan membacakan ayat-ayat berikut ini kepada kaum Muslimin:
Juwairia bint’l-Harith termasuk salah seorang tawanan perang Banu Mushtaliq. Dia memang seorang wanita cantik dan manis. Ia jatuh menjadi bagian salah seorang Anshar. Dalam hal ini ia ingin menebus diri, tetapi mengetahui bahwa dia puteri seorang pemuka Banu Mushtaliq, dan ayahnya akan mampu menebus berapa saja diminta, maka tebusan yang diminta itu cukup tinggi. Kuatir akan membawa akibat yang melampaui batas, maka Juwairia sendiri segera pergi menemui Nabi, yang ketika itu sedang berada di rumah Aisyah.
“Saya Juwairia puteri al-Harith bin Abi Dzirar, pemimpin masyarakat,” katanya. “Saya mengalami bencana, seperti sudah tuan ketahui tentunya. Tetapi karena saya sudah menjadi milik si anu, maka saya telah memajukan penawaran guna membebaskan diri saya. Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan tuan mengenai penawaran saya itu.”
“Maukah engkau dengan yang lebih baik dari itu?” tanya Nabi
“Apa?”
“Saya penuhi penawaranmu dan saya kawin dengan kau.”
Setelah berita itu tersiar, sebagai penghormatan kepada semenda Rasulullah dengan Banu Mushtaliq, tawanan-tawanan perang yang ada di tangan mereka segera mereka bebaskan; sehingga mengenai Juwairia ini Aisyah pernah berkata: Tak pernah saya lihat ada seorang wanita lebih besar membawa keuntungan buat golongannya seperti dia ini.
Demikianlah sebuah sumber menyebutkan Ada pula sumber lain yang mengatakan, bahwa al-Harith b. Abi Dzirar datang mengunjungi Nabi hendak menebus puterinya itu, dan dia sendiri pun masuk Islam setelah dia percaya akan ajaran Nabi, dan bahwa dia mengambil Juwairia puterinya yang juga lalu masuk Islam seperti ayahnya. Kemudian Muhammad meminangnya dan mengawininya, dengan mas kawin sebesar 400 dirham.
Seterusnya sumber ketiga menyebutkan, bahwa ayahnya tidak senang dengan perkawinan ini, bahkan dia tidak setuju, dan bahwa yang mengawinkannya dengan Nabi ialah salah seorang kerabatnya tanpa sekehendak ayahnya.
Setelah Muhammad kawin dengan Juwairia, dibuatkannya rumah di samping rumah-rumah isterinya yang lain didekat mesjid. Dengan demikian ia menjadi Ibu kaum Muslimin pula.
Sementara itu orang di luaran mulai pula berbisik-bisik kenapa Aisyah terlambat di belakang pasukan tentara dan datang bersama Shafwan menumpang untanya, sedang Shafwan seorang pemuda yang tampan dan tegap.
Saudara perempuan Zainab bt. Jahsy yang bernama Hamna, sudah mengetahui bahwa Aisyah dalam hati Muhammad mempunyai tempat melebihi saudaranya itu. Ia segera menyebarkan desas-desus orang tentang Aisyah ini. Ia mendapat dukungan Hassan b. Thabit, dan Ali b. Abi Talib juga menyambutnya.
Dengan demikian Abdullah b. Ubayy merasa mendapat tanah yang subur dalam usahanya menyebarkan bibit berita itu, yang sekaligus merupakan obat penawar pula terhadap api kebencian yang ada dalam hatinya. Mati-matian ia berusaha menyebar-luaskan berita itu. Akan tetapi dalam hal ini kalangan Aus telah menentukan sikap hendak membela Aisyah. Aisyah adalah lambang kesucian dan seorang wanita yang berakhlak tinggi, yang patut menjadi teladan Peristiwa ini hampir saja menjadi suatu fitnah di Medinah.
Berita-berita ini kemudian sampai juga kepada Muhammad. Ia jadi gelisah. Apa? Aisyah akan mengkhianatinya? Tidak mungkin! Itu adalah perbuatan keji dan bertentangan. Dengan rasa cinta dan kasihnya kepada Aisyah hal yang hanya didasarkan pada prasangka semacam itu adalah suatu dosa besar. Ya. Tetapi wanita! Cih! Siapa pula gerangan yang dapat menduga lubuk hati mereka. Lagi pula Aisyah masih muda belia. Kalung serupa apa benar yang hilang dan dicarinya pada malam buta serupa itu? Kenapa hal itu tidak disebut-sebut ketika mereka masih berada di markas? Nabi sendiri masih dalam kebingungan, belum tahu ia, akan percayakah atau tidak.
Orang tak ada yang berani menyampaikan desas-desus itu kepada Aisyah, meskipun ia sendiri sudah merasa aneh melihat sikap suaminya yang kaku, yang belum pernah di lihatnya dan memang tidak sesuai dengan perangainya yang selalu lemah-lembut, selalu penuh kasih kepadanya.
Kemudian Aisyah jatuh sakit, sakit yang cukup keras. Bila ia datang menengoknya dan ibunya ada di tempat itu merawatnya, tidak lebih ia hanya berkata: “Bagaimana?” Sungguh pilu hati Aisyah merasakannya bila ia melihat sikap Nabi begitu kaku kepadanya. Ia bicara dengan hatinya sendiri, tidakkah karena Juwairia yang sekarang menggantikan tempatnya dalam hati suaminya? Begitu sesak dadanya karena sikap Muhammad yang kaku kepadanya itu, sehingga pernah ia berkata:
“Kalau kauijinkan, aku akan pindah ke rumah ibu, supaya ia dapat merawatku.”
Ia pun pindah ke tempat ibunya. Sikapnya yang berlebih-lebihan itu menimbulkan kepedihan pula dalam hatinya sendiri. Lebih dari duapuluh hari ia menderita sakit, baru kemudian ia sembuh. Segala pembicaraan orang yang terjadi tentang dirinya, dia tidak tahu.
Sebaliknya Muhammad, ia merasa sangat terganggu karena berita-berita yang disebarkan orang itu. Sekali ia mengucapkan pidato ini di hadapan orang banyak.
“Saudara-saudara, kenapa orang-orang mengganggu saya mengenai keluarga saya. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya mengenai diri saya. Padahal yang saya ketahui mereka itu orang baik-baik. Lalu mereka mengatakan sesuatu yang ditujukan kepada seseorang, yang saya ketahui, demi Allah, dia juga orang baik; tak pernah ia datang ke salah satu rumah saya hanya jika bersama dengan saya.”
Kemudian Usaid b. Hudzair berdiri seraya berkata:
“Rasulullah, kalau mereka itu dan saudara-saudara kami kalangan Aus, biarlah kami selesaikan, dan kalau mereka itu dan saudara-saudara kami golongan Khazraj perintahkanlah juga kepada kami. Sungguh patut leher mereka itu dipenggal.”
Akan tetapi Sa’d b. ‘Ubada lalu menjawab, bahwa dia berani mengatakan itu karena dia mengetahui bahwa mereka dari golongan Khazraj. Kalau mereka itu dari Aus tentu takkan mengatakannya. Orang ramai lalu mengadakan berundingan dan hampir-hampir terjadi suatu bencana fitnah, kalau tidak karena Rasul segera campur tangan dengan suatu kebijaksanaan yang baik sekali.
Akhirnya, berita itu pun sampai juga kepada Aisyah, diceritakan oleh seorang wanita dari Muhajirin. Terkejut sekali mendengar berita itu, hampir-hampir ia jatuh pingsan. Ia menangis tersedu-sedu, tak dapat lagi ia menahan airmata yang begitu deras berderai, sehingga terasa seolah pecah jantungnya. Ia pergi menjumpai ibunya, dengan membawa beban perasaan yang cukup berat, hampir-hampir terbawa jatuh terhuyung.
“Ampun, Ibu,” katanya, dengan suara tersekat oleh air mata. “Orang-orang sudah begitu rupa bicara di luar, tapi samasekali tidak ibu katakan kepada saya.”
Melihat kesedihan yang begitu menekan perasaan, ibunya berusaha hendak meringankannya. “Anakku,” katanya, “Jangan terlampau gundah. Seorang wanita cantik yang dimadu, yang dicintai suami, tidak jarang menjadi buah bibir madunya dan buah bibir orang.”
Akan tetapi dengan kata-kata itu Aisyah belum terhibur juga. Kembali ia merasa lebih pedih lagi bila teringat sikap Nabi kepadanya yang terasa kaku, padahal tadinya sangat lemah-lembut. Ia merasa, bahwa berita itu tampaknya terkesan juga dalam hati Nabi, dan karenanya ia jadi curiga. Tetapi, gerangan apa yang akan dapat diperbuatnya? Akan dimulainya sajakah ia yang bicara serta menyebutkan berita itu, dan akan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berdosa? Jadi kalau begitu ia menuduh diri sendiri, kemudian menyanggah tuduhan itu dengan sumpah dan permohonan. Ataukah sudah saja membuang muka seperti dia, dan juga membalasnya bersikap kepadanya seperti dia, pula? Tetapi dia adalah Rasul Allah, dia telah memilihnya diatas isteri-isterinya yang lain. Bukan salah dia kalau orang sampai menyiarkan desas-desus tentang dirinya, karena dia telah terlambat dari pasukan tentara dan kembali pulang dengan Shafwan. Ya Allah! Berikanlah jalan keluar kepadanya dalam suasana yang demikian rumit itu, supaya terbuka kepada Muhammad keadaan yang sebenarnya tentang dirinya itu, supaya ia pun kembali seperti dalam suasana semula, penuh cinta, penuh kasih dan selalu lemah-lembut kepadanya.
Tetapi keadaan Muhammad sebenarnya tidak lebih enak dari Aisyah. Ia merasa tersiksa karena percakapan orang mengenai dirinya itu, sehingga akhirnya terpaksa ia meminta pendapat sahabat-sahabatnya yang terdekat: apa yang akan diperbuatnya. Ia pergi ke ramah Abu Bakr, Ali dan Usama bin Zaid dipanggilnya akan dimintai pendapat. Usama ternyata menolak sama sekali segala tuduhan yang dilemparkan orang kepada Aisyah itu. Itu bohong dan tidak punya dasar. Sebagaimana Nabi mengenalnya, orang lain pun juga mengenal dia sebagai seorang wanita yang sangat baik. Sebaliknya Ali. Ia berkata:
“Rasulullah, wanita yang lain banyak.” Lalu sarannya supaya menanyai bujang pembantu Aisyah, kalau-kalau ia dapat dipercaya. Pembantu rumah itu pun dipanggil. Ali berdiri menghampirinya, lalu memukulnya yang cukup membuat bujang itu merasa kesakitan seraya berkata: “Katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah!”
“Demi Allah yang saya ketahui dia adalah baik,” jawab pembantu rumah itu. Segala tuduhan jahat yang ditujukan kepada Aisyah dibantahnya.
[
Akhirnya tak ada jalan lain Muhammad harus menemui sendiri isterinya dan dimintanya supaya mengaku. Ia masuk menemui Aisyah; di tempat itu ada ayahnya dan seorang wanita dari Anshar. Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga turut pula menangis. Tiada terderita olehnya betapa dalamnya kesedihannya itu mencabik hati, tergetar ia setelah mengetahui bahwa oleh Muhammad ia dicurigai. Dicurigai oleh itu laki-laki yang sangat dicintainya, dipujanya, laki-laki yang sangat dipercayainya, tempat dia rela mati untuknya.
Melihat kedatangannya itu, disekanya airmatanya, dan terdengar olehnya ketika ia berkata:
“Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang menjadi pembicaraan orang. Hendaknya engkau takut kepada Allah jika engkau telah melakukan suatu kejahatan seperti apa yang dikatakan orang. Bertaubatlah engkau kepada Allah, sebab Allah akan menerima segala taubat yang datang dari hambaNya.”
Selesai kata-kata itu diucapkan, Aisyah merasa darahnya sudah mendidih. Airmatanya jadi kering. Ia menoleh ke arah ibunya dan ke arah ayahnya. Ia menunggu bagaimana mereka akan menjawab. Tetapi ternyata mereka diam, tiada sepatah kata pun yang keluar dari mereka. Hati Aisyah makin panas, seraya katanya:
“Kenapa kalian tidak menjawab?”
“Sungguh kami tidak tahu bagaimana harus kami jawab,” jawab mereka.
Lalu mereka berdua kembali terdiam lagi. Ketika itulah ia tak dapat menahan diri. Ia menangis lagi tersedu-sedu. Airmatanya itu telah dapat meredakan api amarah yang menyala-nyala seolah hendak membakar jantungnya. Sambil menangis itu kemudian ia bicara, ditujukan kepada Nabi:
“Demi Allah, sama sekali saya tidak akan bertaubat kepada Tuhan seperti yang kausebutkan itu. Saya tahu, kalau saya mengiakan apa yang dikatakan orang itu, sedang Tuhan mengetahui bahwa saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan sesuatu yang tak ada. Tetapi kalau pun saya bantah, kalian takkan percaya.” Ia diam sebentar. Kemudian sambungnya lagi:
“Saya hanya dapat berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf: ‘Maka sabar itulah yang baik, dan hanya Allah tempat meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan itu!”
Sejenak jadi sunyi, setelah terjadi pergolakan itu. Orang tidak tahu pasti sampai berapa lama hal itu berjalan. Akan tetapi begitu Muhammad hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba ia terlelap oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya. Pakaiannya segera diselimutkan kepadanya dan sebuah bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.
Dalam hal ini Aisyah berkata: “Saya sendiri sama sekali tidak merasa takut dan tidak peduli setelah melihat kejadian ini. Saya sudah mengetahui, bahwa saya tidak berdosa dan Allah tidak akan berlaku tidak adil terhadap diri saya. Sebaliknya orangtua saya, setelah Rasulullah s.a.w. terjaga, saya kira nyawa mereka akan terbang karena ketakutan, kalau-kalau wahyu dari Allah akan memperkuat apa yang dikatakan orang.”
Setelah Muhammad terjaga, ia duduk kembali, dengan bercucuran keringat. Sambil menyeka keringat dari dahi ia berkata:
“Gembirakanlah hatimu, Aisyah! Tuhan telah membebaskan kau dari tuduhan.”
“Alhamdulillah,” kata Aisyah.
Kemudian Muhammad pergi ke mesjid, dan membacakan ayat-ayat berikut ini kepada kaum Muslimin:
“Mereka yang datang membawa berita bohong itu sebenarnya dari golonganmu juga. Jangan kamu mengira ini suatu bencana buat kamu, tetapi sebaliknya, suatu kebaikan juga buat kamu. Setiap orang dari mereka itu akan mendapat ganjaran hukum atas dosa yang mereka perbuat. Dan orang yang mengetuai penyiarannya diantara mereka itu akan mendapat siksa yang berat. Mengapa orang-orang beriman - laki-laki dan perempuan - ketika mendengar berita itu, tidak berprasangka baik terhadap sesama mereka sendiri, dan mengatakan: ini adalah suatu berita bohong yang nyata sekali? Mengapa dalam hal ini mereka tidak membawa empat orang saksi. Kalau mereka tak dapat membawa saksi-saksi itu, maka mereka itu disisi Allah adalah orang-orang pendusta.
Dan sekiranya bukan karena kemurahan Tuhan dan kasih-sayangNya juga kepadamu - di dunia dan di akhirat - niscaya siksa Allah yang besar akan menimpa kamu, karena fitnah yang kamu lakukan itu. Tatkala kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan pula dengan mulut kamu sendiri apa yang tidak kamu ketahui dengan pasti, dan kamu mengiranya hanya soal kecil saja, padahal pada Allah itu adalah perkara besar. Dan tatkala kamu mendengarnya, mengapa tidak kamu katakan saja: tidak sepatutnya kami membicarakan masalah ini. Maha Suci Tuhan. Ini adalah kebohongan besar. Allah memperingatkan kamu, jangan sekali-kali hal serupa itu akan terulang jika kamu memang orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan keterangan-keterangan itu kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Mereka yang suka melihat tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, akan mengalami siksaan pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qur’an, 24 : 11-19)
Dalam hubungan ini pula datangnya ketentuan hukuman terhadap orang yang melemparkan tuduhan buta kepada kaum wanita yang baik-baik.
“Dan mereka yang melemparkan tuduhan keji kepada wanita-wanita yang baik-baik, lalu mereka tak dapat membawa empat orang saksi, maka deralah mereka dengan delapan puluh kali pukulan, dan jangan sekali-kali menerima lagi kesaksian mereka itu. Mereka itu adalah orang-orang yang jahat.” (Qur’an, 24: 4)
Untuk melaksanakan ketentuan Qur’an, mereka yang telah menyebarkan berita keji itu - Mistah b. Uthatha, Hassan b. Thabit dan Hamna bt. Jahsy, masing-masing mendapat hukuman dera delapanpuluh kali.
Sekarang kembali Aisyah seperti dalam keadaannya semula, dalam rumah tangga dan dalam hati Muhammad.
Sebagai komentar atas peristiwa ini Sir William Muir menyebutkan sebagai berikut: “Sejarah Aisyah, baik sebelum atau sesudah peristiwa itu mengharuskan kita mengambil keputusan yang pasti bahwa dia, adalah bersih dari segala tuduhan itu dan mengharuskan kita pula untuk tidak ragu-ragu lagi menggugurkan segala macam prasangka terhadap dirinya.”
Akan tetapi sesudah itu pun Hassan b. Thabit kembali diterima dan mendapat kasih sayang Muhammad lagi. Demikian juga Muhammad minta kepada Abu Bakr, supaya jangan mengurangi kasih-sayangnya kepada Mistah seperti yang sudah-sudah. Sejak itu selesailah peristiwa itu dan tidak lagi meninggalkan bekas di seluruh Medinah. Aisyah pun cepat pula sembuh dari sakitnya, lalu kembali ke rumahnya di tempat Rasul, dan kembali pula ke dalam hati Rasul, kembali dalam kedudukannya yang tinggi dalam hati sahabat-sahabatnya seluruh kaum Muslimin. Dengan demikian Nabi dapat kembali mengabdikan diri kepada ajarannya dan kepada pengarahan kaum Muslimin sebagai suatu persiapan guna menghadapi perjanjian Hudaibiya. Semoga Allah memberikan kemenangan yang nyata kepada umat Muslimin.
0 comments:
Post a Comment