12.5. DARI DUA PEPERANGAN SAMPAI KE HUDAIBIYA

BAGIAN KESEMBILANBELAS
DARI DUA PEPERANGAN SAMPAI KE HUDAIBIYA
[Tulisan 2 Dari 3]


Demikian inilah persiapan kehidupan sosial yang baru yang dikehendaki oleh Islam untuk suatu masyarakat umat manusia. Landasannya ialah mengubah sama-sekali pandangan masyarakat itu akan hubungan laki-laki dengan wanita. Ia menghendaki dihapusnya segala tanggapan tentang sex (libido) yang menguasai pikiran manusia selama ini, dan dalam segala hal menganggapnya sebagai satu-satunya yang berkuasa. Dengan demikian yang dikehendaki ialah mengarahkan masyarakat itu sesuai dengan tujuan hidup umat manusia yang lebih tinggi dengan tidak mengurangi kesenangan hidupnya, yaitu kesenangan hidup yang tidak akan mengurangi pula kebebasannya untuk berkeinginan - apalagi sampai akan menghilangkan kebebasan untuk berkeinginan ini - dan yang akan melahirkan hubungan manusia dengan semesta alam. Dari tingkat hidup mengolah tanah, dari tingkat hidup usaha perindustrian dan perdagangan, yang bagaimana pun, ke tingkat yang lebih tinggi, setaraf dengan kehidupan orang-orang suci, dan akan berkomunikasi dengan cara malaikat. Puasa, salat, zakat yang telah ditentukan oleh Islam, ialah alat untuk mencapai taraf ini; yang akan mencegah perbuatan keji, kemungkaran serta pelanggaran. Sekaligus ia akan membersihkan jiwa dan hati orang dari segala penyakit menghambakan diri selain kepada Allah, disamping memperkuat tali persaudaraan antara sesama orang beriman, memperkuat hubungan antara manusia dengan segala yang ada dalam semesta alam ini.

Penyusunan suatu kehidupan sosial secara berangsur-angsur sebagai suatu persiapan kearah transisi besar yang telah disediakan oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak mengurangi pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya dalam menantikan kesempatan hendak menghancurkan Muhammad. Tetapi juga Muhammad tidak kurang pula selalu waspada. Cepat-cepat ia bergerak untuk menanamkan rasa takut dalam hati pihak musuh, bila dianggap perlu.

Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah Banu Quraiza dapat dihancurkan, ia sudah merasakan adanya suatu gerakan lain di sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas kematian Khubaib b. ‘Adi dan kawan-kawannya yang telah dibunuh oleh Banu Lihyan di Raji’ dua tahun yang lalu itu. Akan tetapi maksudnya ini tidak diumumkan, kuatir pihak musuh akan segera berjaga-jaga. Untuk dapat menyergap pihak musuh ia pura-pura pergi ke Syam. Dengan membawa perlengkapan perang ia berangkat menuju
Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan sekutu-sekutunya yang berdekatan tak ada yang menyadari maksudnya, ia pun membelok ke arah Mekah dengan berjalan lebih cepat lagi. Tetapi sesampainya di perkampungan Banu Lihyan di ‘Uran, masyarakat setempat telah melihatnya ketika pertama kali ia menyusur jalan ke selatan. Dari mereka inilah Banu Lihyan mengetahui bahwa ia menuju ke tempat mereka. Mereka pun segera berlindung ke puncak-puncak bukit dengan membawa harta-benda yang ada. Nabi tidak sampai berhasil menyergap mereka.

Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr dengan membawa seratus orang pasukan menuju ‘Usfan2 tidak jauh dari Mekah. Rasulullah sendiri kemudian kembali ke Medinah. Ketika itu panas musim sedang sampai di puncaknya, sehingga Nabi berkata:

“Yang kembali dan yang bertobat jika dikehendaki Allah kiranya kepada Tuhan juga kami memuji syukur. Saya berlindung kepada Allah dari perjalanan yang sangat meletihkan ini, serta kedukaan karena diri kembali dari perjalanan3 dengan keburukan yang tampak pada keluarga dan harta-benda.”

Baru beberapa malam saja Muhammad kembali ke Medinah, tiba-tiba datang ‘Uyaina b. Hishn menyerang pinggiran kota itu. Di tempat tersebut ada beberapa ekor unta yang digembalakan, dijaga oleh seorang laki-laki dengan isterinya. Laki-laki itu oleh ‘Uyaina dan kawan-kawannya dibunuh, unta diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka segera pergi dengan perkiraan bahwa mereka telah dapat menyelamatkan diri dari pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama b. ‘Amr bin’l-Akwa’ yang sudah lebih dulu memacu kudanya menuju hutan dengan bersenjatakan panah dan busur, ketika melintasi Thaniat’l-Wada’ dan menjenguk ke bawah dari arah bukit Sal’ rombongan yang sedang menggiring unta dan membawa wanita itu dilihatnya. Ketika itu pula ia berteriak meminta bantuan sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia melepaskan anak panahnya ke arah mereka, setelah ia berada agak lebih dekat. Dalam pada itu tiada henti-hentinya ia berteriak. Dan teriakan Salama itu akhirnya sampai juga kepada Muhammad. Maka kemudian ia pun memanggil-manggil penduduk Medinah: Ada bahaya! Ada bahaya!

Seketika itu juga pahlawan-pahlawan kota datang dari segenap penjuru. Setelah mendapat perintah mereka pun berangkat mengikuti jejak gerombolan itu. Dia sendiri mempersiapkan pasukannya lalu berangkat menyusul mereka. Ia berhenti di sebuah gunung di bilangan Dhu Qarad.

Sementara itu ‘Uyaina dan anak buahnya sudah mempercepat langkah, ingin lekas-lekas bergabung dengan Ghatafan dan melepaskan diri dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi pasukan Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka. Sebahagian unta itu dapat diselamatkan kembali dari tangan mereka. Kemudian Muhammad datang menyusul dan memberikan bantuannya. Wanita beriman yang dibawa oleh orang-orang Arab itu pun selamat pula.

Ada beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi, terdorong oleh rasa panas hati, ingin terus mengejar ‘Uyaina. Tetapi dilarang oleh Rasulullah, sebab sudah diketahuinya bahwa ‘Uyaina dan anak buahnya sudah sampai ke tempat Ghatafan dan berlindung kepada mereka.

Bila kaum Muslimin kemudian kembali ke Medinah, isteri penjaga itu pun datang pula menyusul di atas seekor unta kepunyaan kaum Muslimin. Wanita itu sudah bernadar, bahwa kalau unta itu dapat diselamatkan, akan disembelihnya seekor sebagai kurban buat Tuhan. Tetapi setelah nadarnya disampaikan kepada Nabi’ Nabi berkata: “Suatu balasan yang buruk sekali, Tuhan sudah mengantarkan engkau dan menyelamatkan engkau dengan unta itu, lalu unta itu yang akan kausembelih. Nadar dengan berdosa kepada Tuhan tidak berlaku, juga atas sesuatu yang tidak kaupunyai.”

Sesudah itu Muhammad tinggal di Medinah hampir dua bulan sudah. Kemudian terjadi suatu ekspedisi terhadap Banu Mushtaliq di Muraisi’ - suatu ekspedisi yang telah dijadikan bahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup Nabi. Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau karena kedua belah pihak - Muslimin dan musuhnya - bertempur mati-matian sampai melampaui batas, tetapi karena kenyataan adanya malapetaka yang kemudian hampir menjalar kedalam tubuh Muslimin sendiri kalau tidak segera Rasul mengambil langkah yang sangat baik sekali, tegas dan meyakinkan; juga karena kemudian Rasul kawin dengan Juwairiah bt. al-Harith, dan karena ekspedisi ini telah pula menimbulkan hadith’l-ifk - peristiwa kebohongan - tentang diri Aisyah. Peristiwa ini telah menempatkannya kedalam persoalan iman dan kekuatan hati - sementara usianya masih enambelas tahun - sehingga segalanya tidak akan berdaya, hanya karena keagungan iman dan kekuatan hati itu jugalah.

Bahwa kegiatan Banu Mushtaliq - yang merupakan bagian dari Khuza’a - yang telah mengadakan persepakatan dalam perkampungan mereka di dekat Mekah, beritanya telah sampai pula kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala potensi dengan maksud hendak membunuh Muhammad dengan dipimpin oleh komandan mereka Al-Harith b. Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh Muhammad dari salah seorang orang badwi. Maka iapun cepat-cepat berangkat sementara mereka sedang lengah, seperti biasanya bila ia menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin di tangan Abu Bakr dan pimpinan pasukan Anshar di tangan Sa’d b. ‘Ubada. Pihak Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah pangkalan air yang bernama Muraisi’, tidak jauh dari wilayah Banu Mushtaliq. Kemudian Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak yang tadinya datang hendak memberikan pertolongan sekarang mereka sudah lari. Dari Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh’ dari Muslimin seorang, konon bernama Hisyam b. Shubaba, dibunuh oleh salah seorang dari Anshar, yang keliru dikira dari pihak musuh.

Setelah terjadi sedikit saling hantam dengan panah, tak ada jalan lain buat Banu Mushtaliq mereka harus menyerah dibawah tekanan pihak Muslimin yang kuat dan bergerak cepat itu. Mereka dibawa sebagai tawanan perang, begitu juga wanita mereka, unta dan binatang ternak yang lain. Dalam pasukan tentara itu Umar ibn’l-Khattab mempunyai orang upahan yang bertugas menuntunkan kudanya. Selesai pertempuran orang ini pernah berselisih dengan salah seorang dari kalangan Khazraj karena soal air. Mereka jadi berkelahi dan sama-sama berteriak. Pihak Khazraj berkata: “Saudara-saudara Anshar!” Sedang orang sewaan Umar berkata pula: “Saudara-saudara Muhajirin!”

Teriakan demikian itu terdengar juga oleh Abdullah b. Ubayy, yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik turut pula dalam ekspedisi dengan harapan akan beroleh bagian rampasan perang. Dendamnya kepada pihak Muslimin dan kepada Muhammad segera timbul. Dalam hal ini ia berkata kepada kawan-kawannya:

“Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: ‘Membesarkan anak harimau.’4 Sungguh, kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina.”

Kemudian kepada golongannya yang hadir waktu itu ia berkata:
“Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu benarkan mereka tinggal di negerimu ini, dan kamu bagi harta-bendamu dengan mereka. Demi Allah, kalau apa yang ada pada kamu itu kamu pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain.”

Percakapannya itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang ketika itu baru selesai menghadapi musuh. Ketika itu Umar ibn’l-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali.

“Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya,” katanya.

Seperti biasanya, disini Nabi memperlihatkan sikap sebagai seorang pemimpin yang sudah matang, bijaksana dan punya pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata:

“Umar bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang dan orang mengatakan, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri?”

Akan tetapi dalam pada itu ia sudah mempertimbangkan, bahwa soalnya akan jadi rumit sekali kalau tidak segera diambil langkah yang tegas. Oleh karena itu diperintahkannya agar diumumkan untuk segera berangkat dalam waktu yang tidak biasanya kaum Muslimin meninggalkan tempat itu. Berita yang disampaikan orang kepada Nabi itu sampai juga kepada Ibn Ubayy. Cepat-cepat ia menemui Nabi hendak membantah adanya berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas nama Tuhan, bahwa dia tidak mengatakan dan tidak pernah bicara begitu. Tetapi ini tidak mengubah keputusan Muhammad hendak meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan sepanjang malam hingga pagi harinya lagi terus-menerus ia memimpin perjalanan itu hingga pada pertengahan hari kedua tatkala terik matahari sudah terasa sangat mengganggu.

Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan mereka menyentuh lantai, mereka pun segera tertidur. Karena sangat lelah orang sudah lupa cakap Ibn Ubayy. Sesudah itu mereka pulang ke Medinah dengan membawa rampasan perang dan orang-orang tawanan Banu Mushtaliq, diantaranya Juwairia bint’l-Harith b. Abi Dzirar, pemimpin dan komandan daerah yang sudah dikalahkan itu.

Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah. Abdullah ibn Ubayy pun sudah di sana. Ia sudah tidak pernah tenang, hatinya gelisah selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada Muhammad dan kepada Muslimin. Pura-pura ia sebagai orang Islam, bahkan sebagai orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah berita yang bersumber dari dia ditujukan kepada Rasulullah di Muraisi’ itu. Pada waktu itulah Surah Munafiqin ini turun:

“Mereka itulah yang berkata: “Jangan memberikan bantuan apa-apa kepada mereka yang di sekitar Rasulullah, supaya mereka berpisah.” Padahal segala perbendaharaan langit dan bumi milik Allah. Tetapi orang-orang munafik itu tidak mengerti. Kata mereka: “Kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina.” Padahal sebenarnya kekuasaan itu milik Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang yang beriman, hanya saja orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (Qur’an, 63: 7-8)
Dengan demikian lalu ada orang-orang yang mengira bahwa ayat-ayat itu merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubayy, dan Muhammad pasti akan memerintahkan supaya ia dibunuh. Ketika itu Abdullah b. Abdullah b. Ubayy, yang sudah menjadi seorang Muslirn yang baik, datang dengan mengatakan:

“Rasulullah, saya mendengar tuan ingin supaya Abdullah b. Ubayy itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya kepada tuan. Orang-orang Khazraj sudah mengetahui, tak ada orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya kuatir tuan akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan dapat menahan diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir. Maka saya akan masuk neraka.”

Begitulah kata-kata Abdullah b. Abdullah b. Ubayy kepada Muhammad. Saya rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun singkat dalam melukiskan suasana batin yang sedang gelisah, batin yang dibawa oleh pengaruh pergolakan yang dahsyat sekali dalam jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan pengaruh iman yang sungguh-sungguh disamping rasa harga diri sebagai orang Arab serta rasa cintanya akan kesejahteraan Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang berlarut-larut.

Inilah perasaan seorang anak yang melihat ayahnya akan dibunuh. Dia tidak minta kepada Nabi supaya ayahnya jangan dibunuh, sebab dia Nabi, dia akan tunduk kepada perintah Tuhan, dan yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak akan membunuh ayahnya yang diharuskan oleh rasa baktinya kepada ayah dan oleh rasa kehormatan dan harga diri - maka dia sendirilah yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang akan membunuh ayahnya; kepalanya akan dibawanya sendiri kepada Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.

Dengan imannya itu ia merasa agak mendapat hiburan juga menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu. Ia kuatir akan masuk neraka apabila ia membunuh seorang mukmin yang telah mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya. Sungguh suatu perjuangan yang sangat dahsyat antara iman di satu pihak dengan perasaan dan moral di pihak lain. Suatu perjuangan batin yang sungguh fatal menghunjam ke dalam hati, sungguh tragis! Tetapi, tahukah kita betapa jawaban Nabi kepada Abdullah setelah mendengar itu?

“Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih bersama dengan kita.”

Memaafkan. Sungguh indah dan agung maaf itu. Muhammad berlaku begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Medinah supaya memusuhinya dan memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah sikap baiknya dan kemaafannya itu memberi bekas yang lebih dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.

Sejak itu apabila Abdullah b. Ubayy mencoba mau bermain api, golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan membuatnya ia merasa bahwa sisa hidupnya itu dari pemberian Muhammad.
Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara dengan Umar mengenai masalah-masalah kaum Muslimin, sampai juga menyebut-nyebut Abdullah b. Ubayy’ begitu juga tentang golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya itu.

“Umar, bagaimana pendapatmu,” kata Muhammad. “Ya, kalau kau bunuh dia ketika kaukatakan kepadaku supaya dibunuh saja, tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang kusuruh bunuh tentu akan kaubunuh.”

“Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintah saya.”

Semua peristiwa itu terjadi setelah kaum Muslimin - dengan membawa tawanan dan rampasan perang - kembali ke Medinah. Akan tetapi lalu ada suatu peristiwa yang pada mulanya tidak memberi bekas apa-apa, tetapi kemudian menjadi pembicaraan yang panjang juga. Soalnya ialah Nabi mengadakan undian terhadap isteri-isterinya bila akan berangkat mengadakan ekspedisi. Barangsiapa yang keluar namanya maka dialah yang ikut serta. Sorenya pada waktu mau mengadakan ekspedisi terhadap kepada Banu Mushtaliq, maka yang keluar ialah nama Aisyah. Jadi dia yang dibawa. Aisyah adalah seorang wanita yang berperawakan kecil, ringan. Bila pelangkin sudah diantarkan orang sampai di depan pintu rumahnya, dia pun naik. Lalu mereka membawanya pada punggung unta. Karena ringannya, mereka hampir tidak dapat merasakan.

Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan rombongannya ia berangkat lagi meneruskan perjalanan yang panjang dan sangat meletihkan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu ia menuju Medinah. Sampai di suatu tempat dekat kota ia berhenti dan bermalam di tempat itu. Kemudian diumumkan kepada rombongan, perjalanan akan diteruskan lagi.

Karena hendak menunaikan hajat, Aisyah ketika itu sedang keluar dari kemah Nabi, sedang pelangkin sudah menunggu di depan kemah, menantikan ia masuk kembali. Aisyah mengenakan seutas kalung yang ketika sedang menyelesaikan keperluannya, kalung itu lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak ada. Ia kembali menyusur jalan sambil mencari-carinya. Dan barangkali lama juga ia mencarinya, baru kemudian benda itu diketemukannya kembali. Mungkin sementara itu ia terlena karena sudah begitu lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke markas untuk kemudian naik ke atas pelangkin, ternyata pelangkin itu sudah dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan bahwa dia sudah berada didalamnya lalu mereka berangkat juga dengan anggapan bahwa mereka sedang membawa Umm’l-Mu’minin, isteri yang sangat dekat ke dalam hati Nabi. Dalam markas itu orang yang akan dapat ditanyai tidak ada. Dia tidak merasa takut bahkan dia yakin bahwa apabila rombongan itu nanti mengetahui dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke tempatnya semula. Jadi lebih baik dia tidak meninggalkan tempat itu; daripada mengarungi padang pasir tanpa pedoman; ia akan sesat karenanya. Tanpa merasa takut, dengan berselimutkan pakaian luarnya ia berbaring di tempat itu, sambil menunggu orang yang akan datang mencarinya.

Sementara ia sedang berbaring itu, Shafwan bin’l-Mu’attal lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat dari rombongan tentara karena harus menunaikan urusannya pula. Ia sudah pernah melihatnya sebelum ada ketentuan hijab terhadap isteri-isteri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan surut sambil berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un! Isteri Rasulullah s.a.w.? Kenapa sampai tertinggal? Semoga rahmat Tuhan juga.” Aisyah tidak menjawab. Didekatkannya untanya itu dan dia sendiri mundur sambil berkata: “Naiklah.”

Setelah Aisyah naik kemudian ia berangkat dengan unta itu cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi tidak terkejar juga, karena ternyata mereka mempercepat perjalanan, ingin segera sampai di Medinah, agar dapat beristirahat setelah mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga diperintahkan oleh Rasulullah guna menghindarkan fitnah yang hampir-hampir terjadi akibat perbuatan Ibn Ubayy itu.

Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh orang banyak sementara Aisyah di atas untanya. Sampai di depan rumahnya dalam rangkaian rumah isteri-isteri Rasul, ia pun masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa hal ini akan dijadikan buah bibir, atau akan menimbulkan syak karena ia terlambat dari rombongan, juga dalam hati Rasul tidak terlintas suatu prasangka buruk terhadap Shafwan, seorang orang mukmin yang beriman teguh.



Catatan kaki:

2 Sebuah desa atau pangkalan air terletak antara Mekah dengan Medinah, kira-kira 66 km dari Mekah (A).
3 min ka’abat’l-munqalab, ‘menarik diri dari perjalanan dan kembali ke kampung halaman, yakni ia kembali ke rumah dengan melihat segala sesuatu yang menyedihkan’ (N), (A).
4 Aslinya secara harfiah: ‘Gemukkan anjingmu, engkau akan dimakannya.’ (A).




0 comments:

Post a Comment