KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN OLEH AL-QUR'AN
[Tulisan 2 Dari 6]
“Bahwasanya dalam penciptaan langit dan bumi, dalam pergantian malam dan siang, bahtera yang mengarungi lautan membawa apa yang berguna buat umat manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkanNya bumi yang sudah mati kering, kemudian disebarkanNya di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikemudikan dari antara langit dan bumi - adalah tanda-tanda (akan keesaan dan kebesaran Tuhan) buat mereka yang menggunakan akal pikiran.” (Qur’an, 2: 164)
“Dan sebagai suatu tanda buat mereka, ialah bumi yang mati kering. Kami hidupkan kembali dan Kami keluarkan dari sana benih yang sebagian dapat dimakan. Disana Kami adakan kebun-kebun kurma dan palm dan anggur dan disana pula Kami pancarkan mata air - supaya dapat mereka makan buahnya. Semua itu bukan usaha tangan mereka. Kenapa mereka tidak berterima kasih. Maha Suci Yang telah menciptakan semua yang ditumbuhkan bumi berpasang-pasangan, dan dalam diri mereka sendiri serta segala apa yang tiada mereka ketahui. Juga sebagai suatu tanda buat mereka - ialah malam. Kami lepaskan siang, maka mereka pun berada dalam kegelapan. Matahari pun beredar menurut ketetapan yang sudah ditentukan. Itulah ukuran dari Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Juga bulan, sudah Kami tentukan tempat-tempatnya sampai ia kembali lagi seperti mayang yang sudah tua. Matahari tiada sepatutnya akan mengejar bulan dan malam pun tiada akan mendahului siang. Masing-masing berjalan dalam peredarannya. Juga sebagai suatu tanda buat mereka - ialah turunan mereka yang Kami angkut dalam kapal yang penuh muatan. Dan buat mereka Kami ciptakan pula yang serupa, yang dapat mereka kendarai. Kalau Kami kehendaki, Kami karamkan mereka. Tiada penolong lagi buat mereka, juga mereka tak dapat diselamatkan. Kecuali dengan rahmat dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai pada waktunya.” (Qur’an, 36: 33-44.)
Anjuran supaya memperhatikan alam ini, menggali segala ketentuan dan hukum yang ada di dalam alam ini serta menjadikannya sebagai pedoman yang akan mengantarkan kita beriman kepada Penciptanya, sudah beratus kali disebutkan dalam pelbagai Surah dalam Qur’an. Semuanya ditujukan kepada tenaga akal pikiran manusia, menyuruh manusia menilainya, merenungkannya, supaya imannya itu didasarkan kepada akal pikiran, dan keyakinan yang jelas. Qur’an mengingatkan supaya jangan menerima begitu saja apa yang ada pada nenek moyangnya, tanpa memperhatikan, tanpa meneliti lebih jauh serta dengan keyakinan pribadi akan kebenaran yang dapat dicapainya itu.
Iman demikian inilah yang dianjurkan oleh Islam. Dan ini bukan iman yang biasa disebut “iman nenek-nenek,” melainkan iman intelektual yang sudah meyakinkan, yang sudah direnungkan lagi, kemudian dipikirkan matang-matang, sesudah itu, dengan renungan dan pemikirannya itu ia akan sampai kepada keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya rasa tak ada orang yang sudah dapat merenungkan dengan akal pikiran dan dengan hatinya, yang tidak akan sampai kepada iman. Setiap ia merenungkan lebih dalam, berpikir lebih lama dan berusaha menguasai ruang dan waktu ini serta kesatuan yang terkandung di dalamnya, yang tiada berkesudahan, dengan anggota-anggota alam semesta tiada terbatas, yang selalu berputar ini - sekelumit akan terasa dalam dirinya tentang anggota-anggota alam itu, yang semuanya berjalan menurut hukum yang sudah ditentukan dan dengan tujuan yang hanya diketahui oleh penciptanya. Ia pun akan merasa yakin akan kelemahan dirinya, akan pengetahuannya yang belum cukup, jika saja ia tidak segera dibantu dengan kesadarannya tentang alam ini, dibantu dengan suatu kekuatan diatas kemampuan pancaindera dan otaknya, yang akan menghubungkannya dengan seluruh anggota alam, dan yang akan membuat dia menyadari tempatnya sendiri. Dan kekuatan itu ialah iman.
Jadi iman itu ialah perasaan rohani, yang dirasakan oleh manusia meliputi dirinya setiap ia mengadakan komunikasi dengan alam dan hanyut kedalam ketak-terbatasan ruang dan waktu. Semua makhluk alam ini akan terjelma dalam dirinya. Maka dilihatnya semua itu berjalan menurut hukum yang sudah ditentukan, dan dilihatnya pula sedang memuja Tuhan Maha Pencipta. Ada pun Ia menjelma dalam alam, berhubungan dengan alam, atau berdiri sendiri dan terpisah, masih merupakan suatu perdebatan spekulatif yang kosong saja. Mungkin berhasil, mungkin juga jadi sesat, mungkin menguntungkan dan mungkin juga merugikan. Disamping itu hal ini tidak pula menambah pengetahuan kita. Sudah berapa lama penulis-penulis dan failasuf-failasuf itu satu sama lain berusaha hendak mengetahui zat Maha Pencipta ini, namun usaha dan daya upaya mereka itu sia-sia. Dan ada pula yang mengakui, bahwa itu memang berada di luar jangkauan persepsinya. Kalau memang akal yang sudah tak mampu mencapai pengertian ini, maka ketidak mampuannya itu lebih-lebih lagi memperkuat keimanan kita. Perasaan kita yang meyakinkan tentang adanya Wujud Maha Tinggi, Yang Maha Mengetahui akan segalanya dan bahwa Dialah Maha Pencipta, Maha Perencana, segalanya akan kembali kepadaNya, maka keadaan semacam itu akan sudah meyakinkan kita, bahwa kita takkan mampu menjangkau zatNya betapa pun besarnya iman kita kepadaNya itu
Demikian juga, kalau sampai sekarang kita tak dapat menangkap apa sebenarnya listrik itu meskipun dengan mata kita sendiri kita melihat bekasnya, begitu juga eter yang tidak kita ketahui meskipun sudah dapat ditentukan, bahwa gelombangnya itu dapat inemindahkan suara dan gambar, pengaruh dan bekasnya itu buat kita sudah cukup untuk mempercayai adanya listrik dan adanya eter. Alangkah angkuhnya kita, setiap hari kita menyaksikan keindahan dan kebesaran yang diciptakan Tuhan, kalau kita masih tidak mau percaya sebelum kita mengetahui zatNya. Tuhan Yang Maha Transenden jauh di luar jangkauan yang dapat mereka lukiskan. Kenyataan dalam hidup ialah bahwa mereka yang mencoba menggambarkan zat Tuhan Yang Maha Suci itu ialah mereka yang dengan persepsinya sudah tak berdaya mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi dalam melukiskan apa yang diatas kehidupan insan. Mereka ingin mengukur alam ini serta Pencipta alam menurut ukuran kita yang nisbi dan terbatas sekali dalam batas-batas ilmu kita yang hanya sedikit itu. Sebaliknya mereka yang sudah benar-benar mencapai ilmu, akan teringat oleh mereka firman Tuhan ini:
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Jawablah: Ruh itu termasuk urusan Tuhan. Pengetahuan yang diberikan kepada kamu itu hanya sedikit sekali.” (Qur’an, 17: 85)
Kalbu mereka sudah penuh dengan iman kepada Pencipta Ruh dan Pencipta semesta Alam ini, sesudah itu tidak perlu mereka menjerumuskan diri ke dalam perdebatan spekulatif yang kosong, yang takkan memberi hasil, takkan mencapai suatu kesimpulan.
Islam yang dicapai dengan iman dan Islam yang tanpa iman oleh Qur’an dibedakan:
Islam yang dicapai dengan iman dan Islam yang tanpa iman oleh Qur’an dibedakan:
“Orang-orang Arab badwi itu berkata: ‘Kami sudah beriman.’ Katakanlah ‘Kamu belum beriman, tapi katakan saja: kami sudah islam.’ Iman itu belum lagi masuk ke dalam hati kamu.” (Qur’an, 49: 14)
Contoh Islam yang demikian ini ialah yang tunduk kepada ajakan orang karena kehendaknya atau karena takut, karena kagum atau karena mengkultuskan diluar hati yang mau menurut dan memahami benar-benar akan ajaran itu sampai ke batas iman.
Yang demikian ini belum mendapat petunjuk Tuhan sampai kepada iman yang seharusnya dicapai, dengan jalan merenungkan alam dan mengetahui hukum alam, dan yang dengan renungan dan pengetahuannya itu ia akan sampai kepada Penciptanya - melainkan jadi Islam karena suatu keinginan atau karena nenek-moyangnya memang sudah Islam. Oleh karenanya iman itu belum merasuk lagi kedalam hatinya, sekalipun dia sudah Islam. Manusia-manusia Muslim semacam ini ada yang hendak menipu Tuhan dan menipu orang-orang beriman, tetapi sebenarnya mereka sudah menipu diri sendiri dengan tiada mereka sadari. Dalam hati mereka sudah ada penyakit. Maka oleh Tuhan ditambah lagi penyakit mereka itu. Mereka itulah orang-orang beragama tanpa iman; islamnya hanya karena didorong oleh suatu keinginan atau karena takut, sedang jiwanya tetap kerdil, keyakinannya tetap lemah dan hatinya pun bersedia menyerah kepada kehendak manusia, menyerah kepada perintahnya. Sebaliknya mereka, yang keimanannya kepada Allah itu dengan imam yang sungguh-sungguh, diantarkan oleh akal pikiran dan oleh jantung yang hidup, dengan jalan merenungkan alam ini, mereka itulah orang yang beriman. Mereka yang akan menyerahkan persoalannya hanya kepada Tuhan, mereka itulah orang yang tidak mengenal menyerah selain kepada Allah. Dengan Islamnya itu mereka tidak memberi jasa apa-apa kepada orang.
Yang demikian ini belum mendapat petunjuk Tuhan sampai kepada iman yang seharusnya dicapai, dengan jalan merenungkan alam dan mengetahui hukum alam, dan yang dengan renungan dan pengetahuannya itu ia akan sampai kepada Penciptanya - melainkan jadi Islam karena suatu keinginan atau karena nenek-moyangnya memang sudah Islam. Oleh karenanya iman itu belum merasuk lagi kedalam hatinya, sekalipun dia sudah Islam. Manusia-manusia Muslim semacam ini ada yang hendak menipu Tuhan dan menipu orang-orang beriman, tetapi sebenarnya mereka sudah menipu diri sendiri dengan tiada mereka sadari. Dalam hati mereka sudah ada penyakit. Maka oleh Tuhan ditambah lagi penyakit mereka itu. Mereka itulah orang-orang beragama tanpa iman; islamnya hanya karena didorong oleh suatu keinginan atau karena takut, sedang jiwanya tetap kerdil, keyakinannya tetap lemah dan hatinya pun bersedia menyerah kepada kehendak manusia, menyerah kepada perintahnya. Sebaliknya mereka, yang keimanannya kepada Allah itu dengan imam yang sungguh-sungguh, diantarkan oleh akal pikiran dan oleh jantung yang hidup, dengan jalan merenungkan alam ini, mereka itulah orang yang beriman. Mereka yang akan menyerahkan persoalannya hanya kepada Tuhan, mereka itulah orang yang tidak mengenal menyerah selain kepada Allah. Dengan Islamnya itu mereka tidak memberi jasa apa-apa kepada orang.
“Tetapi sebenarnya Tuhanlah yang berjasa kepada kamu, karena kamu telah dibimbingNya kepada keimanan, kalau kamu memang orang-orang yang benar.” (Qur’an, 49: 17)
Jadi barangsiapa menyerahkan diri patuh kepada Allah dan dalam pada itu melakukan perbuatan baik, mereka tidak perlu merasa takut, tidak usah bersedih hati. Mereka tidak takut akan menghadapi hidup miskin atau hina, sebab dengan iman itu mereka sudah sangat kaya, sangat mendapat kehormatan. Kehormatan yang ada pada Tuhan dan pada orang-orang beriman.
Jiwa yang rela dan tenteram dengan imannya ini, ia merasa lega bila selalu ia berusaha hendak mengetahui rahasia-rahasia dan hukum-hukum alam, yang berarti akan menambah hubungannya dengan Tuhan. Dan langkah kearah pengetahuan ini ialah dengan jalan membahas dan merenungkan segala ciptaan Tuhan yang ada dalam alam ini dengan cara ilmiah seperti dianjurkan oleh Qur’an dan dipraktekkan pula sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin dahulu, yaitu seperti cara ilmiah yang modern di Barat sekarang. Hanya saja tujuannya dalam Islam dan dalam kebudayaan Barat itu berbeda. Dalam Islam tujuannya supaya manusia membuat hukum Tuhan dalam alam ini menjadi hukumnya dan peraturannya sendiri, sementara di Barat tujuannya ialah mencari keuntungan materi dan apa yang ada dalam alam ini. Dalam Islam tujuan yang pertama sekali ialah ‘irfan - mengenal Tuhan dengan baik, makin dalam ‘irfan atau persepsi (pengenalan) kita makin dalam pula iman kita kepada Tuhan. Tujuan ini ialah hendak mencapai ‘irfan yang baik dari segi seluruh masyarakat, bukan dari segi pribadi saja. Masalah integritas rohani bukan suatu masalah pribadi semata. Tak ada tempat buat orang mengurung diri sebagai suatu masyarakat tersendiri. Bahkan ia seharusnya menjadi dasar kebudayaan untuk masyarakat manusia sedunia - dari ujung ke ujung. Oleh karena itu seharusnya umat manusia berusaha terus demi integritas (kesempurnaan) rohani itu, yang berarti lebih besar daripada pengamatannya mengenai hakekat indera (sensibilia).
Persepsi2. mengenai rahasia benda-benda dan hukum-hukum alam yang hendak mencapai integritas itu lebih besar daripada persepsi sebagai alat guna mencapai kekuasaan materi atas benda-benda itu.
Untuk mencapai integritas rohani ini tidak cukup kita bersandar hanya kepada logika kita saja, malah dengan logika itu kita harus membukakan jalan buat hati kita dan pikiran kita untuk sampai ke tingkat tertinggi. Hal ini bisa terjadi hanya jika manusia mencari pertolongan dari Tuhan, menghadapkan diri kepadaNya dengan sepenuh hati dan jiwa. Hanya kepadaNya kita menyembah dan hanya kepadaNya kita meminta pertolongan, untuk mencapai rahasia-rahasia alam dan undang-undang kehidupan ini. Inilah yang disebut hubungan dengan Tuhan, mensyukuri nikmat Tuhan, supaya bertambah kita mendapat petunjuk akan apa yang belum kita capai, seperti dalam firman Tuhan:
Jiwa yang rela dan tenteram dengan imannya ini, ia merasa lega bila selalu ia berusaha hendak mengetahui rahasia-rahasia dan hukum-hukum alam, yang berarti akan menambah hubungannya dengan Tuhan. Dan langkah kearah pengetahuan ini ialah dengan jalan membahas dan merenungkan segala ciptaan Tuhan yang ada dalam alam ini dengan cara ilmiah seperti dianjurkan oleh Qur’an dan dipraktekkan pula sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin dahulu, yaitu seperti cara ilmiah yang modern di Barat sekarang. Hanya saja tujuannya dalam Islam dan dalam kebudayaan Barat itu berbeda. Dalam Islam tujuannya supaya manusia membuat hukum Tuhan dalam alam ini menjadi hukumnya dan peraturannya sendiri, sementara di Barat tujuannya ialah mencari keuntungan materi dan apa yang ada dalam alam ini. Dalam Islam tujuan yang pertama sekali ialah ‘irfan - mengenal Tuhan dengan baik, makin dalam ‘irfan atau persepsi (pengenalan) kita makin dalam pula iman kita kepada Tuhan. Tujuan ini ialah hendak mencapai ‘irfan yang baik dari segi seluruh masyarakat, bukan dari segi pribadi saja. Masalah integritas rohani bukan suatu masalah pribadi semata. Tak ada tempat buat orang mengurung diri sebagai suatu masyarakat tersendiri. Bahkan ia seharusnya menjadi dasar kebudayaan untuk masyarakat manusia sedunia - dari ujung ke ujung. Oleh karena itu seharusnya umat manusia berusaha terus demi integritas (kesempurnaan) rohani itu, yang berarti lebih besar daripada pengamatannya mengenai hakekat indera (sensibilia).
Persepsi2. mengenai rahasia benda-benda dan hukum-hukum alam yang hendak mencapai integritas itu lebih besar daripada persepsi sebagai alat guna mencapai kekuasaan materi atas benda-benda itu.
Untuk mencapai integritas rohani ini tidak cukup kita bersandar hanya kepada logika kita saja, malah dengan logika itu kita harus membukakan jalan buat hati kita dan pikiran kita untuk sampai ke tingkat tertinggi. Hal ini bisa terjadi hanya jika manusia mencari pertolongan dari Tuhan, menghadapkan diri kepadaNya dengan sepenuh hati dan jiwa. Hanya kepadaNya kita menyembah dan hanya kepadaNya kita meminta pertolongan, untuk mencapai rahasia-rahasia alam dan undang-undang kehidupan ini. Inilah yang disebut hubungan dengan Tuhan, mensyukuri nikmat Tuhan, supaya bertambah kita mendapat petunjuk akan apa yang belum kita capai, seperti dalam firman Tuhan:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakan) Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang bermohon - apabila dia bermohon kepadaKu. Maka sambutlah seruanKu dan berimanlah kepadaKu, kalau-kalau mereka terbimbing ke jalan yang lurus.” (Qur’an 2: 186)
“Dan carilah pertolongan Tuhan dengan tabah, dan dengan menjalankan sembahyang, dan sembahyang itu memang berat, kecuali bagi orang-orang yang rendah hati-kepada Tuhan. Orang-orang yang menyadari bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan dan kepadaNya mereka kembali.” (Qur’an 2: 45-46)
Salat ialah suatu bentuk komunikasi dengan Tuhan secara beriman serta meminta pertolongan kepadaNya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan salat bukanlah sekadar ruku’ dan sujud saja, membaca ayat-ayat Qu’ran atau mengucapkan takbir dan ta’zim demi kebesaran Tuhan tanpa mengisi jiwa dan hati sanubari dengan iman, dengan kekudusan dan keagungan Tuhan. Tetapi yang dimaksudkan dengan salat atau sembahyang ialah arti yang terkandung di dalam takbir, dalam pembacaan, dalam ruku’, sujud serta segala keagungan, kekudusan dan iman itu. Jadi beribadat demikian kepada Tuhan ialah suatu ibadat yang ikhlas - demi Tuhan Cahaya langit dan bumi.
“Kebaikan itu bukanlah karena kamu menghadapkan muka ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, malaikat-malaikat, Kitab, dan para nabi serta mengeluarkan harta yang dicintainya itu untuk kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta, untuk melepaskan perbudakan, mengerjakan sembahyang dan mengeluarkan zakat, kemudian orang-orang yang suka memenuhi janji bila berjanji, orang-orang yang tabah hati dalam menghadapi penderitaan dan kesulitan dan di waktu perang. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itu orang-orang yang dapat memelihara diri.” (Qur’an, 2: 177)
Orang mukmin yang benar-benar beriman ialah yang menghadapkan seluruh kalbunya kepada Allah ketika ia sedang sembahyang, disaksikan oleh rasa takwa kepadaNya, serta mencari pertolongan Tuhan dalam menunaikan kewajiban hidupnya. Ia mencari petunjuk, memohonkan taufik Allah dalam memahami rahasia dan hukum alam ini.
Orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah tengah ia sembahyang akan merasakannya sendiri, selalu akan merasa, dirinya adalah sesuatu yang kecil berhadapan dengan kebesaran Allah Yang Maha Agung. Apabila kita dalam pesawat terbang diatas ketinggian seribu atau beberapa ribu meter, kita melihat gunung-gunung, sungai dan kota-kota sebagai gejala-gejala kecil di atas bumi. Kita melihatnya terpampang di depan mata kita seperti jalur-jalur yang tergaris di atas sebuah peta dan seolah permukaannya sudah rata mendatar tak ada gunung atau bangunan yang lebih tinggi, tak ada ngarai, sumur atau sungai yang lebih rendah, warna-warna sambung-menyambung, saling berkait, tercampur, makin tinggi kita terbang warna-warna itu makin tercampur. Seluruh bumi kita ini tidak lebih dari sebuah planet kecil saja. Dalam alam ini terdapat ribuan tata surya dan planet-planet. Semua itu tidak lebih dari sejumlah kecil saja dalam ketakterbatasan seluruh eksistensi ini. Alangkah kecilnya kita, alangkah lemahnya kcadaan kita berhadapan dengan Pencipta dan Pengurus wujud ini. KebesaranNya diatas jangkauan pengertian kita!
[
Dalam kita menghadapkan seluruh kalbu kita dengan penuh ikhlas kepada Kebesaran Tuhan Yang Maha Suci, kita mengharapkan pertolongan kepadaNya untuk memberikan kekuatan atas kelemahan diri kita ini, memberi petunjuk dalam mencari kebenaran - alangkah wajarnya bila kita dapat melihat persamaan semua manusia dalam kelemahannya itu, yang dalam berhadapan dengan Tuhan tak dapat ia memperkuat diri dengan harta dan kekayaan, selain dengan imannya yang teguh dan tunduk hanya kepada Allah, berbuat kebaikan dan menjaga diri.
Persamaan yang sesungguhnya dan sempurna ini di hadapan Tuhan tidak sama dengan persamaan yang biasa disebut-sebut dalam kebudayaan Barat waktu-waktu belakangan ini, yaitu persamaan di hadapan hukum. Sudah begitu jauh kebudayaan itu memandang persamaan, sehingga hampir-hampir pula tidak lagi diakui di depan hukum. Buat orang-orang tertentu sudah tidak berlaku lagi untuk menghormatinya. Persamaan di hadapan Tuhan, persamaan yang kenyataannya dapat kita rasakan dikala sembahyang, yang dapat kita capai dengan pandangan kita yang bebas - tidak sama dengan persamaan dalam persaingan untuk mencari kekayaan, persaingan yang membolehkan orang melakukan segala tipu-daya dan bermuka-muka, kemudian orang yang lebih pandai mengelak dan bisa main, ia akan selamat dari kekuasaan hukum.
Persamaan dihadapan Allah ini menuju kepada persaudaraan yang sebenarnya, sebab semua orang dapat merasakan bahwa mereka sebenarnya bersaudara dalam berihadat kepada Allah dan hanya kepadaNya mereka beribadat. Persaudaraan demikian ini didasarkan kepada saling penghargaan yang sehat, renungan serta pandangan yang bebas seperti dianjurkan oleh Qur’an. Adakah kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang lebih besar daripada umat ini di hadapan Allah, semua menundukkan kepala kepadaNya, bertakbir, ruku’ dan bersujud. Tiada perbedaan antara satu dengan yang lain - semua mengharapkan pengampunan, bertaubat, mengharapkan pertolongan. Tak ada perantara antara mereka itu dengan Tuhan kecuali amalnya yang saleh (perbuatan baik) serta perbuatan baik yang dapat dilakukannya dan menjaga diri dari kejahatan. Persaudaraan yang demikian ini dapat membersihkan hati dari segala noda materi dan menjamin kebahagiaan manusia, juga akan mengantarkan mereka dalam memahami hukum Tuhan dalam kosmos ini, sesuai dengan petunjuk dalam cahaya Tuhan yang telah diberikan kepada mereka.
Tidak semua orang sama kemampuannya dalam melakukan baktinya sebagaimana diperintahkan Allah. Adakalanya tubuh kita membebani jiwa kita, sifat materialisma kita dapat menekan sifat kemanusiaan kita, kalau kita tidak melakukan latihan rohani secara tetap, tidak menghadapkan kalbu kita kepada Allah selama dalam salat kita; dan sudah cukup hanya dengan tatatertib sembahyang, seperti ruku’, sujud dan bacaan-bacaan. Oleh karena itu harus diusahakan sekuat tenaga menghentikan daya tubuh yang terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma yang sangat menekan sifat kemanusiaan. Untuk itu Islam telah mewajibkan puasa sebagai suatu langkah mencapai martabat kebaktian (takwa) itu seperti dalam firman Tuhan:
Orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah tengah ia sembahyang akan merasakannya sendiri, selalu akan merasa, dirinya adalah sesuatu yang kecil berhadapan dengan kebesaran Allah Yang Maha Agung. Apabila kita dalam pesawat terbang diatas ketinggian seribu atau beberapa ribu meter, kita melihat gunung-gunung, sungai dan kota-kota sebagai gejala-gejala kecil di atas bumi. Kita melihatnya terpampang di depan mata kita seperti jalur-jalur yang tergaris di atas sebuah peta dan seolah permukaannya sudah rata mendatar tak ada gunung atau bangunan yang lebih tinggi, tak ada ngarai, sumur atau sungai yang lebih rendah, warna-warna sambung-menyambung, saling berkait, tercampur, makin tinggi kita terbang warna-warna itu makin tercampur. Seluruh bumi kita ini tidak lebih dari sebuah planet kecil saja. Dalam alam ini terdapat ribuan tata surya dan planet-planet. Semua itu tidak lebih dari sejumlah kecil saja dalam ketakterbatasan seluruh eksistensi ini. Alangkah kecilnya kita, alangkah lemahnya kcadaan kita berhadapan dengan Pencipta dan Pengurus wujud ini. KebesaranNya diatas jangkauan pengertian kita!
[
Dalam kita menghadapkan seluruh kalbu kita dengan penuh ikhlas kepada Kebesaran Tuhan Yang Maha Suci, kita mengharapkan pertolongan kepadaNya untuk memberikan kekuatan atas kelemahan diri kita ini, memberi petunjuk dalam mencari kebenaran - alangkah wajarnya bila kita dapat melihat persamaan semua manusia dalam kelemahannya itu, yang dalam berhadapan dengan Tuhan tak dapat ia memperkuat diri dengan harta dan kekayaan, selain dengan imannya yang teguh dan tunduk hanya kepada Allah, berbuat kebaikan dan menjaga diri.
Persamaan yang sesungguhnya dan sempurna ini di hadapan Tuhan tidak sama dengan persamaan yang biasa disebut-sebut dalam kebudayaan Barat waktu-waktu belakangan ini, yaitu persamaan di hadapan hukum. Sudah begitu jauh kebudayaan itu memandang persamaan, sehingga hampir-hampir pula tidak lagi diakui di depan hukum. Buat orang-orang tertentu sudah tidak berlaku lagi untuk menghormatinya. Persamaan di hadapan Tuhan, persamaan yang kenyataannya dapat kita rasakan dikala sembahyang, yang dapat kita capai dengan pandangan kita yang bebas - tidak sama dengan persamaan dalam persaingan untuk mencari kekayaan, persaingan yang membolehkan orang melakukan segala tipu-daya dan bermuka-muka, kemudian orang yang lebih pandai mengelak dan bisa main, ia akan selamat dari kekuasaan hukum.
Persamaan dihadapan Allah ini menuju kepada persaudaraan yang sebenarnya, sebab semua orang dapat merasakan bahwa mereka sebenarnya bersaudara dalam berihadat kepada Allah dan hanya kepadaNya mereka beribadat. Persaudaraan demikian ini didasarkan kepada saling penghargaan yang sehat, renungan serta pandangan yang bebas seperti dianjurkan oleh Qur’an. Adakah kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang lebih besar daripada umat ini di hadapan Allah, semua menundukkan kepala kepadaNya, bertakbir, ruku’ dan bersujud. Tiada perbedaan antara satu dengan yang lain - semua mengharapkan pengampunan, bertaubat, mengharapkan pertolongan. Tak ada perantara antara mereka itu dengan Tuhan kecuali amalnya yang saleh (perbuatan baik) serta perbuatan baik yang dapat dilakukannya dan menjaga diri dari kejahatan. Persaudaraan yang demikian ini dapat membersihkan hati dari segala noda materi dan menjamin kebahagiaan manusia, juga akan mengantarkan mereka dalam memahami hukum Tuhan dalam kosmos ini, sesuai dengan petunjuk dalam cahaya Tuhan yang telah diberikan kepada mereka.
Tidak semua orang sama kemampuannya dalam melakukan baktinya sebagaimana diperintahkan Allah. Adakalanya tubuh kita membebani jiwa kita, sifat materialisma kita dapat menekan sifat kemanusiaan kita, kalau kita tidak melakukan latihan rohani secara tetap, tidak menghadapkan kalbu kita kepada Allah selama dalam salat kita; dan sudah cukup hanya dengan tatatertib sembahyang, seperti ruku’, sujud dan bacaan-bacaan. Oleh karena itu harus diusahakan sekuat tenaga menghentikan daya tubuh yang terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma yang sangat menekan sifat kemanusiaan. Untuk itu Islam telah mewajibkan puasa sebagai suatu langkah mencapai martabat kebaktian (takwa) itu seperti dalam firman Tuhan:
“Orang-orang beriman! Kepadamu telah diwajibkan berpuasa, seperti yang sudah diwajibkan juga kepada mereka yang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa - memelihara diri dari kejahatan.” (Qur’an, 2: 183)
Bertakwa dan berbuat baik (birr) itu sama. Yang berbuat baik orang yang bertakwa dan yang berbuat baik ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab dan para nabi dan diteruskan dengan ayat yang sudah kita sebutkan.
Catatan kaki:1 Lihat halaman xlvii (A).
2 Kata ‘irfan dan ma’rifat yang kadang mempunyai arti yang sama, disini kata ma’rifat tidak saya pergunakan sebagai istilah ilmiah yang umum dalam tasauf dan ilmu kalam, juga tidak saya salin dengan gnosis atau connaissance, melainkan mengingat persoalannya secara konotatif saya pergunakan kata persepsi, yakni pengamatan, pengenalan dan kesadaran batin (A).
2 Kata ‘irfan dan ma’rifat yang kadang mempunyai arti yang sama, disini kata ma’rifat tidak saya pergunakan sebagai istilah ilmiah yang umum dalam tasauf dan ilmu kalam, juga tidak saya salin dengan gnosis atau connaissance, melainkan mengingat persoalannya secara konotatif saya pergunakan kata persepsi, yakni pengamatan, pengenalan dan kesadaran batin (A).
0 comments:
Post a Comment