13.3. KHAIBAR DAN UTUSAN KEPADA RAJA-RAJA

BAGIAN KEDUAPULUHSATU
KHAIBAR DAN UTUSAN 
KEPADA RAJA-RAJA
[Tulisan 3 Dari 4]


Kemudian setelah mendapat ijin dari Nabi ia tampil kedepan dan mulai mereka saling menyerang sehingga hampir-hampir ia sendiri dapat dibunuh oleh Marhab. Tetapi pedangnya itu dapat ditahan dengan perisai oleh Ibn Maslama dan pedang itu tersangkut dan tertahan. Dengan demikian orang itu dihantam oleh Muhammad Ibn Maslama sampai menemui ajalnya.

Demikianlah perang antara Yahudi dan Muslimin itu terjadi sangat seru sekali, ditambah lagi ketahanan benteng-benteng Yahudi ketika itu memang sangat kuat dan keras.

Sekarang pihak Muslimin mengepung benteng Zubair. Pengepungan ini tampaknya cukup lama disertai dengan pertempuran yang sengit pula. Sungguh pun begitu mereka tidak juga berhasil menaklukkannya. Baru setelah akhirnya saluran air ke benteng itu diputuskan, pihak Yahudi terpaksa keluar dan dengan mati-matian mereka memerangi kaum Muslimin sekalipun mereka itu akhirnya lari juga. Dengan demikian benteng-benteng itu satu demi satu jatuh ke tangan Muslimin yang berakhir pada benteng Watih dan Sulalim dalam kelompok perbentengan Katiba, dua buah benteng terakhir yang kukuh dan kuat.

Sejak itulah perasaan putus-asa mulai merayap ke dalam hati mereka. Kini mereka minta damai. Semua harta-benda mereka didalam benteng- benteng asy-Syiqq, Natat dan Katiba diserahkan kepada Nabi untuk disita, asal nyawa mereka diselamatkan. Permohonan ini oleh Muhammad diterima. Dibiarkannya mereka itu tinggal di kampung halaman mereka, yang menurut hukum penaklukan sudah berada di bawah kekuasaannya. Mereka akan mendapat separoh hasil buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.

Muhammad memperlakukan Yahudi Khaibar tidak sama seperti terhadap Yahudi Banu Qainuqa dan Banu Nadzir tatkala mereka dikosongkan dari kampung halaman itu; sebab dengan jatuhnya Khaibar ini ia sudah merasa terjamin dari adanya bahaya Yahudi dan yakin pula bahwa mereka samasekali tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan. Di sainping itu di Khaibar terdapat pula beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma. Semua ini masih memerlukan tenaga-tenaga ahli yang cukup banyak untuk mengolahnya dan yang akan dapat pula mengurus pengolahan itu dengan cara yang sebaik-baiknya. Kendatipun pengikut-pengikut Medinah terdiri dari penduduk yang bercocok tanam, tanah mereka pun sangat pula memerlukan tenaga mereka, namun mengingat, bahwa Nabi juga sangat memerlukan tentara untuk angkatan perangnya, maka ia tidak suka membiarkan mereka semua itu dalam bercocok tanam. Dalam pada itu orang-orang Yahudi Khaibar tetap bekerja meskipun kekuasaan politik mereka sudah runtuh demikian rupa yang juga mempengaruhi kegiatan mereka, sehingga dari segi pertanian dan perkebunan pun cepat sekali Khaibar mengalami kemunduran dan kehancuran; padahal sudah begitu baik Nabi memperlakukan penduduk daerah itu, di samping Abdullah b. Rawaha utusan Nabi kepada mereka yang cukup adil, setiap tahun mengadakan pembagian hasil dengan mereka. Demikian baiknya Nabi memperlakukan penduduk Yahudi Khaibar itu sehingga tatkala kaum Muslimin menyerbu mereka, dan diantara barang-barang rampasan perang itu terdapat juga ada beberapa buah kitab Taurat, ketika oleh pihak Yahudi diminta, maka oleh Nabi diperintahkan supaya kitab-kitab itu diserahkan kembali kepada mereka. Ia tidak sampai berbuat seperti yang pernah dilakukan oleh pihak Rumawi ketika menaklukkan Yerusalem. Kitab-kitab suci itu oleh mereka dibakar dan diinjak-injak dengan telapak kaki. Juga ia tidak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh pihak Nasrani dalam perang menindas kaum Yahudi Andalusia (Spanyol). Kitab-kitab Taurat itu oleh mereka juga dibakar.

Setelah Yahudi Khaibar minta damai - selama Muslimin mengepung mereka di perbentengan Watih dan Sulalim, Nabi telah mengutus orang kepada penduduk Fadak3. dengan maksud supaya mereka mau menerima ajakannya atau menyerahkan harta-benda mereka. Mengetahui peristiwa yang sudah terjadi di Khaibar, penduduk Fadak sudah merasa ketakutan sekali. Persetujuan diadakan dengan menyerahkan separo harta mereka tanpa pertempuran. Kalau daerah Khaibar menjadi milik Muslimin karena mereka yang telah berjuang membebaskannya, maka Fadak untuk Muhammad karena pihak Muslimin tidak memperolehnya dengan pertempuran.

Selesai semua itu Rasul pun berkemas-kemas hendak kembali ke Medinah melalui Wadi’l-Qura.4. Akan tetapi pihak Yahudi daerah ini sudah menyiapkan diri hendak menyerang Muslimin. Dan pertempuran segera pecah. Tetapi mereka juga terpaksa menyerah dan minta damai seperti halnya dengan pihak Khaibar. Sebaliknya golongan Yahudi Taima, mereka bersedia membayar jizya (pajak) tanpa terjadi peperangan atau pertempuran.

Dengan demikian semua orang Yahudi tunduk kepada kekuasaan Nabi, dan berakhir pulalah semua kekuasaan mereka di seluruh jazirah. Dari jurusan utara ke Syam sekarang Muhammad sudah tidak kuatir lagi, sama halnya seperti dulu, dari jurusan selatan juga ia sudah tidak kuatir lagi setelah adanya Perjanjian Hudaibiya.

Dengan habisnya kekuasaan Yahudi itu, maka kebencian pihak Muslimin - terutama kaum Anshar - terhadap kepada mereka jadi berkurang sekali. Bahkan mereka menutup mata terhadap beberapa orang Yahudi yang kembali ke Yathrib. Dan Nabi berdiri bersama-sama dengan orang-orang Yahudi yang sedang berkabung terhadap kematian Abdullah b. Ubayy dan menyatakan turut berdukacita pula kepada anaknya. Kepada Mu’adh b. Jabal pun dipesannya untuk tidak membujuk orang-orang Yahudi itu dari agama Yahudinya. Juga pajak jizya tidak dikenakan kepada orang-orang Yahudi Bahrain meskipun mereka tetap berpegang pada keyakinan agama mereka. Dengan Yahudi Banu Ghazia dan Banu ‘Aridz dibuat pula persetujuan bahwa mereka akan memperoleh dhimma (perlindungan) dan kepada mereka dikenakan pula pajak.

Ringkasnya, pihak Yahudi itu sekarang tunduk kepada kekuasaan kaum Muslimin. Kedudukan mereka di negeri-negeri Arab sudah berantakan dan mereka pun terpaksa meninggalkan daerah itu. Tadinya mereka di tempat itu sebagai golongan yang dipertuan, sampai selesai mereka itu dikeluarkan, yang menurut satu pendapat sejak semasa hidup Rasul, pendapat lain mengatakan setelah Rasul wafat.

Akan tetapi tunduknya penduduk Khaibar dan golongan Yahudi lainnya di seluruh jazirah itu tidak terjadi sekaligus setelah mereka jatuh. Bahkan akibat kejatuhan mereka itu hati mereka masih penuh memikul kebencian dan dendam yang kotor sekali. Zainab bint’l-Harith isteri Sallam b. Misykam pernah menyampaikan hadiah daging domba kepada Muhammad - setelah ia merasa aman dan setelah ada perjanjian perdamaian dengan pihak Khaibar. Ketika ia dan sahabat-sahabat sedang duduk hendak memakan daging itu, Nabi ‘a.s. mengambil bagian kakinya dan sudah akan mulai di kunyah, tapi tidak sampai ditelannya. Dalam pada itu Bisyr bin’l-Bara’ yang duduk makan bersama-sama telah pula mengambil daging itu sekerat. Tapi Bisyr lalu menelannya sekaligus. Sedang Rasul memuntahkannya kembali seraya katanya.

“Ada tanda-tanda tulang ini beracun.”

Kemudian Zainab dipanggil, dan ia pun mengaku. Lalu katanya:

“Tuan telah mengadakan tindakan terhadap golongan saya seperti sudah tuan ketahui.” Lalu kataku: “Kalau dia seorang raja, aku sudah lega; kalau dia seorang nabi tentu dia akan diberi tahu!”

Akibat makan daging itu Bisyr kemudian meninggal dunia.

Dalam hal ini ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat.

Tetapi sebahagian besar menyatakan, bahwa Nabi telah memaafkan Zainab, dan sangat menghargai sekali alasannya mengingat malapetaka yang telah menimpa ayah dan suaminya itu. Disamping itu ada juga yang mengatakan bahwa dia pun dibunuh karena Bisyr yang telah mati diracun itu.

Sebenarnya perbuatan Zainab itu telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di dalam hati kaum Muslimin. Peristiwa-peristiwa yang timbul sesudah Khaibar membuat mereka tidak percaya lagi kepada orang-orang Yahudi. Bahkan mereka kuatir akan segala akibat tipu muslihat yang akan dilakukan secara perseorangan, setelah secara massal mereka dapat dihancurkan. Shafia bt. Huyayy b. Akhtab dari Banu Nadzir termasuk salah seorang tawanan yang oleh kaum Muslimin diambil dari benteng Khaibar. Dia isteri Kinana bin’l-Rabi’. Setahu pihak Muslimin, di tangan Kinana inilah harta-benda Banu Nadzir itu disimpan. Ketika Nabi menanyakan harta itu kepadanya, ia bersumpah-sumpah bahwa dia tidak mengetahui tempatnya.

“Kalau kami dapati di tempatmu, mau kamu dibunuh?” tanya Muhammad.
“Ya,” jawab Kinana.

Salah seorang dari mereka ini pernah melihat Kinana sedang mundar-mandir pada sebuah puing, dan hal ini disampaikan kepada Nabi. Oleh Nabi diperintahkan supaya puing itu digali dan dari dalam puing itulah harta simpanan itu dikeluarkan. Kinana akhirnya dibunuh karena perbuatannya itu.

Sekarang Shafia berada ditangan Muslimin sebagai salah seorang tawanan perang.

“Shafia adalah ibu Banu Quraidza dan Banu Nadzir. Dia hanya pantas buat tuan,” demikian dikatakan kepada Nabi.

Setelah wanita itu dimerdekakan kemudian ia diperisteri oleh Nabi seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang besar yang menang perang. Mereka kawin dengan puteri-puteri orang-orang besar guna mengurangi tekanan karena bencana yang dialaminya dan memelihara pula kedudukannya yang terhormat.

Kuatir akan timbulnya dendam kepada Rasul dalam hati wanita - yang baik ayahnya, suaminya atau pun golongannya sudah terbunuh itu - maka semalaman itu dalam perjalanan pulang dari Khaibar Abu Ayyub Khalid al-Anshari dengan membawa pedang terhunus berjaga-jaga di sekitar kemah tempat perkawinan Muhammad dengan Shafia itu dilangsungkan. Pagi harinya, setelah Rasul melihatnya, ia ditanya: “Ada apa?”

“Saya kuatir akan keselamatan tuan dari perbuatan wanita itu,” katanya, “karena ayahnya, suaminya dan golongannya sudah dibunuh sedang belum selang lama dia masih kafir.”

Akan tetapi sampai Muhammad wafat ternyata Shafia sangat setia kepadanya. Ketika menderita sakit terakhir isteri-isterinya sedang berada di sekelilingnya, Shafia berkata:

“Ya Nabiullah. Sekiranya saya saja yang menderita sakit ini.”

Isteri-isteri Nabi saling mengedipkan mata kepadanya.

“Bersihkan mulutmu,” kata Nabi kepada mereka.
“Dari apa ya Nabiullah?” kata mereka pula.
“Dari kedipan matamu kepada teman sejawatmu itu. Demi Allah, dia sungguh jujur.”

Setelah Nabi wafat, Shafia masih mengalami masa khilafat Mu’awiyah. Pada masa itulah ia meninggal dan dimakamkan di Baqi’.

***

Sekarang apa yang terjadi dengan para utusan yang telah diutus oleh Muhammad kepada Heraklius, kepada Kisra, Najasyi dan raja-raja sekeliling negeri Arab itu? Adakah keberangkatan mereka itu sebelum perang Khaibar atau mereka turut mengalaminya juga dan baru kemudian setelah kemenangan berada di pihak Muslimin mereka berangkat masing-masing menuju tujuannya? Dalam hal ini pendapat ahli-ahli sejarah masih jauh sekali berbeda-beda, sehingga sukar sekali kita dapat mengambil suatu kesimpulan yang lebih pasti. Tetapi menurut dugaan kami mereka tidak semua berangkat dalam waktu yang bersamaan; dan keberangkatan mereka ada yang sebelum dan ada pula yang sesudah Khaibar

Tidak hanya sebuah sumber saja yang menyebutkan, bahwa Dihya b. Khalifa al-Kalbi pernah mengalami perang Khaibar tetapi dia juga yang telah pergi membawa surat kepada Heraklius, yang ketika itu tengah kembali pulang membawa kemenangan setelah ia berhasil mengalahkan Persia, dan berhasil pula menyelamatkan Salib Besar yang mereka ambil dari Yerusalem. Dan sudah tiba pula saatnya ia akan menunaikan nadarnya hendak berziarah ke Yerusalem dengan berjalan kaki guna mengembalikan salib itu ke tempatnya semula.

Ketika surat itu disampaikan baginda sudah sampai di kota Himsh.5 Apakah orang-orangnya sendiri yang menyerahkan surat itu kepada Heraklius setelah oleh Dihya diserahkan kepada penguasanya di Bostra, ataukah Dihya yang memimpin rombongan Arab badui itu - yang setelah di perkenalkan - dia sendiri yang menyerahkan surat tersebut kepadanya? Juga dalam hal ini sumber tersebut masih kacau.

Selanjutnya surat itu dibacakan dan diterjemahkan di hadapan Maharaja. Baginda tidak murka atau geram, juga tidak lalu merencanakan hendak mengirim angkatan perangnya menyerbu negeri-negeri Arab. Sebaliknya malah surat itu dibalas dengan baik sekali. Ini pula agaknya yang menyebabkan beberapa ahli sejarah salah menduga, dikira baginda telah masuk Islam.

Dalam waktu bersamaan Harith al-Ghassani telah pula menyampaikan berita kepada Heraklius, bahwa ada seorang utusan Muhammad datang kepadanya membawa surat. Heraklius melihat isi surat itu sama seperti yang dikirimkan kepadanya, mengajaknya memeluk agama Islam. Harith meminta persetujuan baginda hendak memimpin sendiri sebuah pasukan yang akan menghajar orang yang mendakwakan diri nabi itu. Akan tetapi menurut Heraklius lebih baik Harith berada di Yerusalem bila baginda nanti berziarah, supaya perayaan mengembalikan salib lebih meriah adanya, dan orang yang menyerukan agama baru itu tak usah dipedulikan. Tidak terlintas dalam pikirannya, bahwa tidak akan selang berapa tahun lagi Yerusalem dan Syam itu sudah akan berada dibawah panji Islam pula, bahwa ibukota Islam akan pindah ke Damsyik dan bahwa pertentangan antara negeri-negeri Islam dengan kemaharajaan Rumawi baru menjadi reda setelah Konstantinopel dalam tahun 1453 dikuasai oleh pihak Turki, gerejanya yang besar diubah menjadi mesjid, sehingga itu Nabi yang oleh Heraklius dicoba hendak ditaklukkannya dengan cara tanpa menghiraukannya, namanya tertulis dalam bangunan itu, dan selama berabad-abad gereja itu tetap menjadi mesjid, sampai akhirnya oleh Muslimin Turki ia diubah lagi menjadi sebuah museum kesenian Rumawi.


Catatan kaki:
3 Fadak ialah sebuah desa daerah koloni Yahudi di Hijaz, tidak jauh dari Medinah (A).
4 Wadi’l-Qura ialah sebuah wadi atau lembah terletak antara Medinah dengan Syam (A).
5 Himsh atau Homs, sebuah kota lama (Emesa) di Suria Tengah (A).



0 comments:

Post a Comment