20.6. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM 6-6

ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM 
[Tulisan 6 Dari 6]



Itu juga sebabnya, meskipun bangsa-bangsa yang menganut Islam secara silih berganti ditaklukkan, dikuasai dan dijaJah oleh bangsa-bangsa lain, namun keislaman mereka tak pernah goyah, keimanan mereka tak pernah berubah. Sampai saat ini Eropa masih tetap menguasai bangsa-bangsa beragama Islam. Tetapi mereka takkan mampu mengubah iman bangsa itu kepada Tuhan. Sebaliknya, mereka yang dewasa ini mempergunakan pedang dan menaklukkan umat Islam, maka nasib merekapun - supaya cocok dengan kata-kata dalam Injil itu binasa oleh pedang sebagai balasan yang sesuai pula.

Para penguasa dan raja-raja itu oleh Nabi telah dikembalikan kepada kekuasaan mereka masing-masing. Negeri Arab yang pada akhir zaman Nabi itu merupakan suatu kesatuan beberapa bangsa Arab yang beragama Islam, tak ada sebuah negara pun yang dalam status jajahan tunduk kepada Mekah atau Medinah. Dengan iman mereka yang begitu teguh semua golongan Arab pada waktu itu merasa sama rata di hadapan Allah. Mereka semua sejalan seiring dalam menghadap pihak yang hendak melanda mereka atau hendak membujuk mereka dari agamanya. Sampai pada waktu sesudah itu, pada waktu Pax Islamica atau liga kesatuan bangsa-bangsa Islam mulai goyah, pusat kediaman khalifah tetap menjadi pusat liga itu. Kekuasaan Khalifah tidak pernah mendakwakan sebagai pemegang monopoli masalah-masalah rohani atau monopoli dalam kebudayaan. Bahkan semua bangsa yang menganut Islam tidak mengenal adanya suatu kekuasaan rohani diluar kekuasaan Tuhan. Semua pusat kawasan Islam waktu itu adalah juga pusat pengembangan seni, ilmu dan teknologi. Yang demikian ini berjalan terus, sampai datang waktunya keadaan kaum Muslimin terpisah dari Islam. Ajaran Islam yang begitu gemilang sudah tidak mereka kenal lagi, persaudaraan di kalangan sesama mukmin sudah mereka lupakan, seseorang tidak sempurna imannya sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri sudah mereka lupakan pula. Yang mulai berlaku kemudian ialah mementingkan diri sendiri, yang mulai memegang peranan kemudian ialah politik destruktif. Maka pedang itulah yang dijadikan juru selamat. Terjadilah mereka yang mempergunakan pedang akan binasa oleh pedang.

Berhubung dengan itu, sejak abad ke-15 Kristen Eropa mulai bangkit dengan jiwa baru, yang barangkali akan ada juga gunanya buat dunia kalau tidak segera mengalami kehancuran yang sudah menjadi suatu keharusan sebagai akibat pecah-belahnya ajaran Kristen menjadi sekte-sekte. Dalam pada itu, bersamaan dengan masa kebangkitan itu pula bangsa-bangsa Islam yang sudah melupakan Islam itu pun mulai pula dihadapkan pada kekerasan pedang dan akan tetap dihadapkan pada pedang. Dan pedang itu jugalah yang dijadikan juru selamat dalam berhadapan dengan bangsa-bangsa Islam. Dalam hal ini apabila pedang yang berbicara, maka segala pikiran, ilmu pengetahuan, segala kebaikan, cinta kasih, iman bahkan kemanusiaan, sudah tak ada gunanya lagi.

Dikuasainya dunia dewasa ini oleh pedang, ialah karena adanya krisis rohani dan psikologi yang telah melandanya dan sampai manusia menderita karenanya. Beberapa negara besar yang telah menguasai dunia dengan pedang selama Perang Dunia Pertama - yakni duapuluh tahun yang lalu - mereka sudah yakin sekali akan kenyataan ini, dan lalu bermaksud hendak mengadakan perdamaian di dunia. Maka untuk mencapai tujuan ini dibangunlah Liga Bangsa-bangsa dan tugas liga ini ialah seperti dalam firman Tuhan:

“Dan apabila ada dua golongan orang-orang beriman berkelahi, maka damaikanlah keduanya itu. Tetapi jika salah satu dari keduanya membangkang terhadap yang lain, maka lawanlah yang membangkang itu sampai ia kembali kepada perintah Allah. Bila mereka kembali, damaikanlah keduanya itu dengan cara yang adil. Hendaklah berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Demikianlah kedua golongan saudara kamu itu. Berbaktilah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
(Qur’an, 49: 9-10)
Akan tetapi jiwa perdamaian itu belum lagi merata ke seluruh dunia, karena dasar kebudayaan yang kini berkuasa ialah kebudayaan imperialisma, imperialisma yang didasarkan kepada nasionalisma dengan segala pertentangannya, dengan segala daya upayanya, setiap negara yang kuat hendak mengisap negara-negara kecil lainnya, maka sudah menjadi hak setiap bangsa yang masih dijajah, bahkan harus menjadi kewajiban pertama, berusaha menghancurkan belenggu si penjajah itu, sebab penjajahan itulah bibit segala pemberontakan dan peperangan. Selama masih ada penjajahan, perdamaian tak mungkin terwujud, peperangan takkan berkesudahan, kecuali dalam bentuk formalitas saja. Setiap bangsa, satu sama lain akan tetap memandang dengan saling curiga-mencurigai, dengan hati-hati dan menunggu-nunggu kesempatan hendak mengadakan pembunuhan gelap. Dimana mungkin ada perdamaian kalau jiwa semacam ini masih tetap berakar! Perdamaian itu baru ada, apabila orang dari pelbagai bangsa dapat mengubah diri. Mereka harus benar-benar percaya akan arti perdamaian, memegang teguh segala ajaran yang didasarkan pada perdamaian dan dengan ikhlas pula bersepakat menghadapi setiap usaha yang hendak mengeruhkannya.

Hal ini baru akan terjadi apabila imperialisma itu sudah tidak lagi menjadi dasar kebudayaan dunia, apabila semua orang di segenap pelosok bumi ini sudah menyadari kewajibannya yang pokok, yaitu yang kuat membantu yang lemah, yang besar mengasihi yang kecil, yang pandai mau mendidik yang belum pandai, dengan menyebarkan sinar panji ilmu pengetahuan ke segenap penjuru bumi, dengan hasrat hendak memberi kebahagiaan kepada umat manusia, bukan hendak mempergunakannya sebagai alat memeras bangsa-bangsa lain atas nama ilmu pengetahuan, atas nama perkembangan teknologi.

Apabila dunia semua sudah memegang prinsip ini, apabila orang semua sudah merasa, bahwa dunia semua tanah airnya, dan bahwa mereka semua bersaudara, satu sama lain saling mencintai seperti mencintai diri sendiri - ketika itu akan ada toleransi antara sesama manusia, akan ada keakraban; ketika itu mereka akan berdialog dengan bahasa yang tidak lagi seperti sekarang. Mereka akan saling percaya-mempercayai, sekalipun masing-masing berjauhan tempat. Mereka semua akan bekerja untuk kebaikan demi Allah. Ketika itulah segala permusuhan dan kebencian akan terhapus. Dengan rahmat Tuhan kepada umat manusia, dan kerelaan manusia kepada Tuhan, hanya kebenaran yang akan ada, hanya perdamaian yang akan merata.

“Orang-orang yang beriman dan pengikut-pengikut Yahudi, Nasrani dan orang-orang Shabi’un yang percaya kepada Allah dan Hari Kemudian serta mengerjakan perbuatan yang baik, mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Mereka tidak perlu takut, tidak usah bersedih hati.” (Qur’an, 2: 62)
Adakah dalam hal ini toleransi yang lebih luas dari ini! Orang yang beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian lalu berbuat kebaikan, mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Pada dasarnya tiada perbedaan antara orang-orang yang beriman itu dengan mereka yang belum mendapat ajakan Islam, baik Yahudi, Nasrani atau Shabi’un10 (atau Sabian) yang belum dipalsukan itu.

Tuhan berfirman:

“Dan ada sebagian Ahli Kitab itu yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang sudah diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka. Mereka sangat berendah hati kepada Tuhan, tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka itulah yang akan mendapat ganjaran dari Tuhan, sebab Allah sangat cepat memperhitungkan.” (Qur’an, 3: 199)
Mana pula semua itu bila dibandingkan dengan kebudayaan Barat yang kini menguasai dunia dengan segala chauvinisma dan fanatisma agamanya serta segala peperangan dan kehancuran yang timbul sebagai akibat fanatisma itu!

Inilah semangat jiwa yang begitu tinggi memberikan toleransi, semangat yang harus merata menguasai dunia bila memang dikehendaki supaya perdamaian itu bertakhta di dunia demi kebahagiaan umat manusia. Semangat inilah yang telah membuat setiap studi tentang sejarah hidup orang yang telah menerima wahyu Allah dengan firman ini, menjadi suatu studi ilmiah yang benar-benar bersih demi ilmu semata. Masalah-masalah psikologi dan spirituil yang hendak mengantarkan manusia ke jalan kebudayaan baru yang selama ini dicarinya, seharusnya sudah dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan mendalami studi demikian ini akan banyak sekali hal-hal yang akan dapat diungkapkan, yang sejak sekian lama orang menduga tidak mungkin akan dapat dianalisa secara ilmiah. Ternyata pembahasan-pembahasan ilmu jiwa kemudian dapat menerangkan dengan jelas sekali, terutama bagi mereka yang memang mau memahaminya.

Seperti sudah kita lihat, keluhuran hidup Muhammad adalah hidup manusia yang sudah begitu tinggi sejauh yang pernah dicapai oleh umat manusia. Hidup yang penuh dengan teladan yang luhur dan indah bagi setiap insan yang sudah mendapat bimbingan hati nurani, yang hendak berusaha mencapai kodrat manusia yang lebih sempurna dengan jalan iman dan perbuatan yang baik. Dimana pulakah ada suatu keagungan dan keluhuran dalam hidup seperti yang terdapat dalam diri Muhammad ini, yang dalam hidup sebelum kerasulannya sudah menjadi suri teladan pula sebagai lambang kejujuran, lambang harga diri dan tempat kepercayaan orang. Demikian juga sesudah masa kerasulannya, hidupnya penuh pengorbanan, untuk Allah, untuk kebenaran, dan untuk itu pula Allah telah mengutusnya. Suatu pengorbanan yang sudah berkali-kali menghadapkan nyawanya kepada maut. Tetapi, bujukan masyarakatnya sendiri pun - yang dalam gengsi dan keturunan ia sederajat dengan mereka - yang baik dengan harta, kedudukan atau dengan godaan-godaan lain -mereka tidak dapat merintanginya.

Kehidupan insani yang begitu luhur dan cemerlang itu belum ada dalam kehidupan manusia lain yang pernah mencapainya, keluhuran yang sudah meliputi segala segi kehidupan. Apalagi yang kita lihat suatu kehidupan manusia yang sudah bersatu dengan kehidupan alam semesta sejak dunia ini berkembang sampai akhir zaman, berhubungan dengan Pencipta alam dengan segala karunia dan pengampunanNya. Kalau tidak karena adanya kesungguhan dan kejujuran Muhammad menyampaikan risalah Tuhan, niscaya kehidupan yang kita lihat ini lambat laun akan menghilangkan apa yang telah diajarkannya itu.

Tetapi, seribu tigaratus limapuluh tahun ini sudah lampau, namun amanat Tuhan yang disampaikan Muhammad, masih tetap menjadi saksi kebenaran dan bimbingan hidup. Untuk itu cukup satu saja kiranya kita kemukakan sebagai contoh, yaitu apa yang diwahyukan Allah kepada Muhammad, bahwa dia adalah penutup para nabi dan para rasul. Empat belas abad sudah lalu, tiada seorang juga sementara itu yang mendakwakan diri bahwa dia seorang nabi atau rasul Tuhan lalu orang mempercayainya. Sementara dalam abad-abad itu memang sudah lahir tokoh-tokoh di dunia yang sudah mencapai kebesaran begitu tinggi dalam pelbagai bidang kehidupan, namun anugerah sebagai kenabian dan kerasulan tidak sampai kepada mereka. Sebelum Muhammad memang sudah ada para nabi dan rasul yang datang silih berganti. Mereka semua sudah memberi peringatan kepada masyarakatnya masing-masing bahwa mereka itu sesat, dan diajaknya mereka kepada agama yang benar. Namun tiada seorang diantara mereka itu yang menyebutkan, bahwa dia diutus kepada seluruh umat manusia, atau bahwa dia adalah penutup para nabi dan para rasul. Sebaliknya Muhammad, ia mengatakan itu, dan sejarah pun sepanjang abad membenarkan kata-katanya. Dan itu bukan suatu cerita yang dibuat-buat, tetapi memang hendak memperkuat apa yang sudah ada, serta menjelaskan sesuatunya, sebagai petunjuk dan rahmat bagi mereka yang beriman.

Tujuan pokok yang saya harapkan ialah, semoga apa yang saya maksudkan dengan pembahasan ini sudah akan memadai juga hendaknya, dan semoga dengan ini saya sudah merambah jalan ke arah adanya pembahasan-pembahasan yang lebih dalam dan menyeluruh dalam bidangnya. Saya sudah berusaha kearah itu sekuat kemampuan saya, dan Tuhan juga kiranya yang akan memberi keringanan kepada saya.

“Tuhan tidak akan memaksa seseorang di luar kesanggupannya. Segala usaha baik yang dikerjakannya adalah untuk dirinya, dan yang sebaliknya pun untuk dirinya pula. ‘Ya Allah, jangan kami dianggap bersalah, bila kami lupa atau keliru. Ya Allah, janganlah Kaupikulkan kepada kami beban seperti yang pernah Kaupikulkan kepada mereka yang sebelum kami. Ya Allah, jangan hendaknya Kaupikulkan kepada kami beban yang kiranya takkan sanggup kami pikul. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Engkau jugalah Pelindung kami terhadap mereka yang tiada beriman itu.” (Qur’an, 2: 286)
 

Catatan kaki:

10 Dalam menafsirkan ayat ini At-Tabari menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang percaya kepada Rasulullah; pengikut-pengikut Yahudi ialah orang-orang (yang menganut agama) Yahudi. Mereka ini disebut Yahudi karena kata-kata mereka juga: inna hudna ilaika - ‘kami kembali kepadaMu’ atau ‘kami bertaubat.’ Orang-orang Nasrani ialah pengikut-pengikut Kristus. Dinamakan Nasrani, satu pendapat mengatakan nama itu dinisbatkan kepada Nazareth, yaitu nama desa di Palestina tempat Isa dilahirkan, yang lain berpendapat, ialah karena ucapan Isa yang mengatakan ‘man anshari ila’llah’ (‘siapakah penolong-penolongku ke jalan Allah’), maka penolong-penolong itu diberi sebutan ‘Nashara’ (bentuk jamak ‘Nashrani); Shabi’un (atau Sabian) menurut satu pendapat ialah mereka yang menyembah malaikat. Pendapat lain mengatakan, bahwa mereka ini percaya kepada: keesaan Tuhan, tetapi tidak mempunyai kitab suci, tak ada nabi dan tidak mengamalkan sesuatu selain percaya bahwa tak ada tuhan selain Allah. Pendapat ketiga mengatakan, bahwa kaum Shabi’un ini orang-orang tidak beragama (Lihat juga catatan bawah halaman 33). Ibn Jarir menafsirkan ayat dalam firman Tuhan: “Orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian” ialah orang yang percaya akan hari kebangkitan sesudah mati pada hari kiamat, orang berbuat kebaikan dan taat kepada perintah Allah, mereka itulah yang akan mendapat ganjaran dari Tuhan, yakni mereka akan mendapat pahala dari Tuhan karena perbuatan-perbuatan yang baik. Sedang firman “mereka tidak perlu takut, tidak usah berduka cita,” ialah bahwa mereka tidak perlu takut dalam menghadapi hari kebangkitan, juga mereka tidak usah bersedih hati akan kehidupan dunia yang ditinggalkannya dalam menghadapi pahala dan kenikmatan abadi dari Tuhan. Dalam hal ini selanjutnya Ibn Jarir mengatakan, bahwa ayat ini ditujukan kepada orang Nasrani yang telah mengajak Salman al-Farisi menganut agama mereka. Salah seorang dari mereka juga mengatakan kepada Salman bahwa kelak akan muncul nabi di negeri Arab dengan menunjukkan sekali akan tanda-tanda kenabiannya itu. Dinasehatinya bahwa kalau nanti sampai ia mengalami supaya dia pun menjadi pengikutnya. Setelah Salman masuk Islam dan hal ini disampaikannya kepada Nabi, Nabi berkata: “Salman, mereka itu penghuni neraka.” Hal ini sangat berkesan sekali pada Salman. Maka turunlah ayat ini “Orang-orang yang berirnan dari pengikut-pengikut Yahudi,” dan seterusnya. Ada lagi yang berpendapat bahwa Tuhan telah menghapus ayat tersebut dengan firmanNya: “Barangsiapa menerima agama selain Islam ia tidak akan diterima.” Tetapi Ibn Jarir menambahkan: “Apa yang kita sebutkan menurut penafsiran yang pertama itu lebih mirip dengan keadaan wahyu menurut lahirnya saja, sebab Tuhan tidak mengkhususkan ganjaran itu atas perbuatan baik, dengan yang sebagian beriman dan yang lain tidak. Predikat dengan kata-kata ‘Orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian’ meliputi semua yang disebutkan dalam ayat pertama itu. Barangkali dapat juga disebutkan - untuk memperkuat pendapat Ibn Jarir mengenai ulasan ayat “Barangsiapa menerima agama selain Islam, ia tidak akan diterima,” - bahwa itu ditujukan kepada orang-orang Islam yang memilih agama lain setelah mereka dilahirkan secara Islam atau sesudah beriman kepada ajaran Islam. Sebaliknya yang dilahirkan tidak sebagai Muslim, ajakan dan ajaran Islam tidak sampai kepadanya seperti apa adanya, maka halnya sama dengan mereka yang sebelum datangnya kerasulan Muhammad atau yang semasa dengan itu tapi belum mengetahui tentang ajaran itu dengan sebenarnya. [Lihat tafsir at-Tabarr (Jami’l Bayan) Jilid Satu hal. 253 - 257].



0 comments:

Post a Comment