20.2. ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM

ORIENTALIS DAN KEBUDAYAAN ISLAM 
[Tulisan 2 Dari 6]



Ilmu ini tidak seharusnya akan menghentikan orang dari memikirkan hari kemudian mereka serta berusaha sekuat tenaga mengikuti jalan yang benar dan menghindarkan diri dari jalan yang sesat. Ilmu Allah itu buat mereka masih gaib. Tetapi akhirnya mereka akan sampai juga kepada kebenaran sekalipun agak lambat. Tuhan telah menetapkan sifat kasih sayang itu dalam DiriNya. Ia selalu menerima taubat hamba-Nya yang mau bertaubat dan sudah banyak dosa yang diampuniNya. Selama rahmat Tuhan itu meliputi segalanya, manusia tidak perlu berputus asa akan memperoleh jalan yang benar, asal ia mau merenungkan dan memikirkan alam semesta ini. Orang tidak perlu berputus asa dari rahmat Tuhan kalau renungannya itu akhirnya akan mengantarkannya ke jalan Allah. Manusia yang celaka ialah yang tidak mengakui sifat manusianya, dan merasa dirinya sudah terlampau besar untuk memikirkan dan merenungkan hal-hal yang akan mengantarkan dirinya kepada petunjuk Tuhan. Mereka itulah orang-orang yang hendak menentang Tuhan, bukan mengharapkan beroleh rahmat Tuhan. Jantung mereka oleh Tuhan sudah ditutup, mereka yang akan menjadi penghuni neraka, yang akan mendapat tempat yang paling celaka.

Apakah Orientalis-orientalis itu sudah melihat arti jabariah Islam yang begitu tinggi, begitu luas jangkauannya? Apakah mereka melihat bahwa anggapan mereka itu memang sangat lemah, yang menduga bahwa jabariah Islam itu menyuruh orang berpeluk lutut tanpa usaha atau mau menerima hidup hina atau mau menyerah begitu saja? Disamping semua itu ajaran ini selalu memberikan harapan, bahwa pintu rahmat dan taubat selalu terbuka bagi barangsiapa yang mau bertaubat. Apa yang mereka duga bahwa ajaran ini menyuruh tiap Muslim menganggap setiap keuntungan dan malapetaka yang menimpa dirinya sebagai takdir yang sudah ditentukan Tuhan dan oleh karenanya ia harus diam saja, menerima segala bencana dan kehinaan itu dengan sabar, maka semua itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya dari ajaran jabariah ini, yang mengajar orang supaya selalu berjuang dan berusaha untuk memperoleh kerelaan Allah, untuk selalu berhati teguh sebelum tawakal kepada Allah. Apabila orang belum berhasil mendapat sukses sekarang, hendaknya terus ia berusaha kalau-kalau besok ia berhasil. Harapannya yang selalu pada Tuhan agar langkahnya mendapat bimbingan ke arah yang benar, agar mendapat pengampunan dari segala dosa, adalah pendorong yang paling utama untuk berpikir dan berusaha terus-menerus dalam mencapai tujuan menurut kehendak Allah. KepadaNya ia menyembah dan kepadaNya pula ia meminta pertolongan. Tempat orang mengharapkan petunjuk batin, dan ke sana pula segalanya akan kembali.

Sungguh besar kekuatan yang dibangkitkan oleh ajaran yang tinggi ini kedalam jiwa manusia! Sungguh luas jangkauan harapan yang dibukakan itu. Kita terbimbing kepada kebaikan selama apa yang kita kerjakan memang karena Allah. Kalau kita sampai disesatkan oleh setan, taubat kita pun akan diterima selama pikiran kita dapat mengalahkan nafsu kita dan membawa kita kembali ke jalan yang lurus. Jalan lurus ini ialah undang-undang Tuhan dalam ciptaanNya, undang-undang yang akan menjadi penyuluh kita dengan segenap hati dan pikiran kita, serta dengan permenungan kita akan segala yang diciptakan Tuhan. Dan kita pun mulai berusaha mengenal semua rahasia alam itu.

Akan tetapi, apabila sesudah itu masih ada orang yang sesat dan mempersekutukan Tuhan, masih ada orang yang mau melakukan kerusakan di muka bumi ini, masih ada yang mau menutup mata dari segala arti persaudaraan, maka itu adalah contoh yang diberikan Tuhan kepada manusia guna memperlihatkan kekuasaan Tuhan sehingga yang demikian itu kelak menjadi suatu teladan buat mereka. Inilah keadilan dan rahmat Tuhan kepada seluruh umat manusia. Orang tidak akan mencegah atau membatasi melakukan semua itu. Tetapi hukuman yang akan diterimanya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.

Akan tetapi, buat apa manusia berpikir, buat apa bekerja, kalau maut itu memang selalu mengintai mereka! Bila ajal sudah sampai sesaat pun tak dapat diundurkan atau dimajukan. Buat apa manusia berpikir dan buat apa pula bekerja kalau orang yang bahagia sudah ditentukan lebih dulu akan jadi bahagia, dan yang sengsara akan jadi sengsara?

Ini adalah pertanyaan ulangan sengaja jawabannya kita kemukakan supaya dapat kita lihat masalah ketentuan ajal ini dari segi lain: Apa yang sudah ditentukan Tuhan lebih dulu ialah undang-undang alam sejak sebelum alam itu diciptakan dan sebelum difirmankan kepadanya ‘Jadilah’! maka ia pun jadi.’ Dalam melukiskan ini tak ada yang lebih tepat dari firman Allah ini “Tuhan kamu telah menetapkan sifat kasih sayang itu dalam DiriNya.” Ini berarti bahwa kasih sayang itu sudah menjadi sifat Tuhan dan menjadi salah satu undang-undangNya dalam alam semesta. Tak ada suatu kewajiban yang diharuskan terhadap DiriNya. Kewajiban memang tidak seharusnya ada atas Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini Allah berfirman:

“Kami tiada akan menjatuhkan siksaan sebelum Kami mengutus seorang rasul.”

Apabila ada suatu golongan yang sesat dan kepada mereka Tuhan tidak mengutus seorang rasul, maka undang-undang Tuhan disini berlaku - tiada seorang dari mereka akan dijatuhi siksaan. Buat setiap orang yang beriman, tanda-tanda kebesaran Tuhan dalam alam ini sudah wajar sekali, bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam. Apabila Tuhan sudah mengutus seorang rasul kepada suatu golongan, kemudian berlaku hukum alam dan kehendak Tuhan atas golongan itu, yaitu bahwa setelah diberi petunjuk ada orang dari golongan tersebut yang masih tetap mempertahankan kesesatannya, maka orang yang telah menganiaya dirinya sendiri itu akan menjadi contoh buat orang lain.

Sungguh naive sekali untuk mengatakan bahwa orang yang telah sesat ini diperlakukan tidak adil karena telah dijatuhi hukuman atas kesesatannya, padahal kesesatan demikian memang sudah termaktub lebih dulu (ditentukan) terhadap dirinya. Kita mengatakan naive untuk tidak mengatakan merendahkan Tuhan, sebab jalan pikiran yang paling tepat akan mengatakan kepada kita, bahwa barangsiapa yang sesat, ia telah menganiaya dirinya, bukan Tuhan yang menganiayanya.

Untuk menjelaskan ini cukup kiranya kita mengambil contoh seorang ayah yang penuh kasih sayang mendekatkan api kepada anaknya yang masih bayi. Kalau sianak memegangnya, dijauhkannya api itu seraya memberi isyarat, bahwa api itu panas. Kemudian secara berulang-ulang api itu didekatkannya lagi kepada sibayi, tidak apa juga kalau jari bayi itu sampai terbakar sedikit supaya dialami sendiri dalam kenyataan apa yang sudah diperingatkan kepadanya itu dan supaya selalu diingat selama hidupnya. Tetapi bilamana sesudah dewasa ia masih mau memegang api atau menceburkan diri ke dalam api, maka apa yang sudah menimpanya itulah ganjarannya, dan jangan ayahnya yang disalahkan, jangan ada yang minta supaya sang ayah mengalanginya dari perbuatan itu. Begitu juga misalnya seorang ayah yang sudah memberi petunjuk tentang bahaya judi atau minuman keras kepada anaknya. Maka bilamana sianak itu kelak sudah dewasa dan dia melanggar juga apa yang sudah dilarang oleh ayahnya lalu karenanya ia mendapat bencana, maka bukanlah sang ayah yang kejam menganiayanya, sekalipun ia akan mampu mencegah dari berbuat demikian. Sang ayah sama sekali bukan kejam kalau membiarkan sianak sampai melanggar apa yang sudah menjadi larangan, dan ini merupakan contoh buat keluarga dan saudara-saudaranya yang lain. Begitu juga keluarga dan saudara-saudara yang sampai ratusan atau ribuan jumlahnya dalam sebuah kota yang memang banyak godaannya karena pengaruh keadaan. Sudah cukup baik dan adil sekali kiranya kalau konsekwensi yang tak dapat dihindarkan menimpa mereka sebagai ganjaran terhadap perbuatan mereka sendiri. Itu akan dapat memperbaiki keadaan anggota masyarakat yang lain, meskipun apa yang telah menimpa anak-anak negeri yang aniaya itu sangat disesalkan. Inilah contoh keadilan yang paling sederhana dan berimbang sehubungan dengan masyarakat manusia kita ini, seperti yang sudah kita lukiskan tadi. Apalagi bila kita membayangkan dan membandingkan dengan alam semesta, dengan makhluk-makhluk yang berjuta-juta banyaknya dalam luasan ruang dan waktu yang tak terbatas! Apa yang sudah menimpa individu dan masyarakat - karena perbuatannya sendiri - dalam bentuk yang sudah tidak mampu lagi khayal kita membayangkannya, semua itu baru merupakan contoh keadilan atau keseimbangan dalam bentuknya yang sangat sederhana.

Kalau adanya kekejaman itu kita alamatkan kepada sang ayah, karena dia membiarkan anaknya yang sesat itu harus menerima ganjaran kesesatannya, pada hal kesesatan itu memang sudah termaktub atas dirinya, maka juga beralasan sekali kekejaman demikian itu kita alamatkan kepada diri kita sebab kita telah membunuh seekor kutu yang sangat mengganggu, dikuatirkan akan membawa penularan kepada kita, yang ada kalanya akan menimbulkan bencana kepada masyarakat kalau ini sampai menular kepada orang lain. Atau karena kita membuang batu dari dalam kandung empedu atau ginjal kita sebab takut mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan, atau kita memotong salah satu bagian anggota tubuh kita karena dikuatirkan bagian yang rusak itu akan menjalar ke seluruh badan dan akibatnya akan fatal sekali. Kalau semua itu tidak kita lakukan, karena memang sudah termaktub atas diri kita, kemudian kita menderita atau sampai mati karenanya, maka yang harus disalahkan akibat bencana itu hanyalah diri kita sendiri, sebab Tuhan sudah membukakan pintu penderitaan buat kita, sama halnya dengan pintu taubat yang terbuka buat orang yang berdosa. Hanya orang-orang bodoh sajalah yang rela menerima penderitaan demikian itu dengan anggapan bahwa itu memang sudah termaktub atas dirinya. Ini karena kedunguan dan ketololan mereka saja.

Sementara kita melihat kutu yang dibunuh, batu yang dibuang dan dicabutnya anggota tubuh yang sakit sungguh adil sekali - meskipun dalam hukum alam sudah termaktub, bahwa kutu akan mengganggu dan akan membawa penularan penyakit kepada manusia, batu dan anggota tubuh yang sakit akan mendesak bagian tubuh yang lain sehingga dapat membinasakan - dengan melihat semua ini bagaimana kita tidak akan menganggapnya suatu kebodohan yang naive sekali, yang tak dapat diterima akal selain pikiran egoistis yang sempit, yang melihat keadilan itu hanya dari segi kita yang subyektif saja, dan tidak menghubungkannya kepada seluruh masyarakat insani, atau lebih dari itu, menghubungkannya kepada alam semesta?!

Apa artinya kutu, batu dan manusia dibandingkan dengan alam ini? Bahkan apa artinya seluruh umat manusia dibandingkan dengan alam? Dengan khayal kita yang sempit, kita berusaha hendak membayangkan batas-batas alam yang luas, dengan ruang dan waktu, dengan awal dan akhir, dan dengan segala kata-kata yang semacam itu. Sudah tak ada jalan lain lagi buat kita akan dapat membayangkan bentuk alam ini selain itu, karena memang sangat terbatas sekali, sesuai dengan pengetahuan yang ada pada kita, yang juga terbatas, dan masih sedikit sekali. Dan yang sedikit ini sudah cukup memperlihatkan kepada kita bahwa undang-undang Tuhan dalam alam ialah undang-undang yang teratur dan seimbang, yang tak berubah-ubah dan bertukar-tukar. Kita sampai mengetahui undang-undang ini karena Tuhan menganugerahkan kepada kita pendengaran, penglihatan dan jantung, supaya kita melihat segala keindahan ciptaanNya ini, dapat memahami alam sesuai dengan undang-undangNya itu. Maka kita pun mengagungkan kemuliaan Tuhan, kita berbuat baik menurut yang diperintahkanNya. Dan berbuat baik atas dasar iman, buat mereka yang mengerti ialah suatu manifestasi ibadat yang paling tinggi kepada Tuhan.

Maut ialah akhir hidup dan permulaan hidup. Oleh karena itu yang merasa takut mati hanya mereka yang menolak adanya hidup akhirat dan merasa takut pada kehidupan akhirat karena perbuatan mereka yang buruk selama dalam dunia. Mereka tidak ingin mati mengingat adanya perbuatan tangan mereka sendiri. Akan tetapi mereka yang memang sudah bersedia mati, ialah orang-orang yang benar-benar beriman dan mereka yang berbuat kebaikan selama hidup di dunia. Seperti dalam firman Allah:

“Dia Yang telah menciptakan Mati dan Hidup untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang lebih baik perbuatannya. Dia Maha Kuasa, Maha Pengampun.” (Qur’an, 67: 2)
Dan firmanNya lagi yang ditujukan kepada Nabi:

“Kami tidak pernah menjadikan manusia sebelum engkau itu kekal selamanya. Kalau engkau mati, apakah mereka akan hidup kekal? Setiap jiwa akan merasakan mati dan kamu akan Kami uji dengan yang buruk dan yang baik sebagai suatu cobaan, dan kamu kelak pun akan kembali kepada Kami.” (Qur’an, 21: 34 - 35)

“Perumpamaan mereka yang dibebani membawa Kitab Taurat, kemudian tidak mereka bawa, sama seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar. Buruk sekali perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Tuhan itu; dan Tuhan tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Katakanlah: ‘Wahai orang-orang yang menganut agama Yahudi, kalau kamu mendakwakan bahwa kamu sahabat-sahabat Tuhan diluar orang lain, nyatakanlah keinginanmu akan mati itu -jika benar-benar kamu jujur. Tetapi kamu tidak akan pernah menyatakan keinginanmu itu, karena perbuatan tangan mereka sendiri yang telah mereka lakukan. Tuhan Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim itu.” (Qur’an, 62 :5 - 7)

“Dialah Yang telah mengambil jiwamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang harinya. Kemudian kamu dibangkitkan kembali supaya waktu tertentu dapat dipenuhi. Sesudah itu kepadaNya juga tempat kamu kembali. Kemudian kepadamu diberitahukanNya apa yang telah kamu kerjakan.” (Qur’an, 6: 60)

Inilah beberapa ayat yang sudah jelas sekali menolak apa yang dikatakan orang bahwa jabariah Islam itu mengajar orang bertopang dagu dan enggan berusaha. Tuhan menciptakan maut dan hidup untuk menguji manusia, siapa daripada mereka yang melakukan perbuatan baik. Perbuatan dalam dunia dan balasannya sesudah mati. Mereka yang tidak berusaha, tidak berjuang di muka bumi ini, tidak mencari nafkah sebagai karunia Tuhan; kalau mereka tidak mau menafkahkan harta mereka; kalau mereka tidak mau mengutamakan sahabatnya meskipun mereka sendiri dalam kekurangan, mereka telah melanggar perintah Tuhan.

Sebaliknya, bilamana semua itu mereka lakukan dengan baik, perbuatan mereka akan diterima baik oleh Allah dan pada hari kemudian mendapat pahala dan balasan yang baik. Tuhan akan menguji kita dalam hidup kita ini dengan yang baik dan yang buruk sebagai suatu cobaan. Dengan otak kita, kita juga yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Barangsiapa berbuat baik seberat atom pun akan dilihatnya, barangsiapa berbuat keburukan seberat atom juga akan dilihatnya. Kalau apa yang sudah menimpa kita itu bukan karena sudah ditentukan Tuhan terhadap diri kita, niscaya itu akan membuat kita lebih tekun melakukan kebaikan untuk melihat hasil yang baik pula. Sesudah itu sama saja buat kita: adakah Tuhan akan menjadikan kita manusia yang kuat, yang masih giat bekerja, atau akan dikembalikan ke usia yang sudah pikun, yang sudah tidak dapat kita ketahui lagi apa yang dulunya sudah pernah kita ketahui. Kriterium atau ukuran hidup seseorang bukanlah dari jumlah tahun yang sudah ditempuhnya, melainkan dari perbuatan-perbuatan baik apa yang sudah dilakukannya selama itu, dan yang akan menjadi peninggalannya. Mereka yang sudah meninggal di jalan Tuhan (dalam berbuat kebaikan), dalam pandangan Tuhan mereka hidup, di tengah-tengah kita juga kenangan mereka tetap hidup. Berapa banyak nama-nama yang tetap kekal selama berabad-abad karena orang-osrang itu telah mengabdikan diri dan segala daya upayanya untuk kebaikan, mereka itu berada di tengah-tengah kita yang masih hidup, sungguh pun mereka telah berpulang sejak ratusan tahun yang lalu.

“Apabila sudah tiba waktunya, mereka takkan dapat mengundurkan atau memajukannya barang sedikit pun juga.”

Inilah yang benar. Hanya ini yang sesuai dengan hukum alam. Manusia sudah mempunyai batas waktu yang takkan dapat dilampauinya. Sama halnya dengan matahari dan bulan, sudah mempunyai waktu-waktu gerhana yang tidak berubah-ubah, tak dapat dimajukan atau diundurkan. Waktu yang sudah ditentukan ini lebih mendorong orang untuk berusaha dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Ia akan berusaha sekuat tenaga.

Ia tidak tahu kapan ia akan menemui ajalnya. Bilamana ajal itu sampai maka balasannya apa yang sudah dikerjakannya. Di hadapan kita setiap hari sudah ada buktinya bahwa ajal itu takdir yang tak dapat dielakkan. Ada orang yang mati dengan tiba-tiba dan orang tidak tahu apa sakitnya. Ada orang yang sakit, yang sudah sekian puluh tahun menderita dan merintih melawan penyakitnya itu sampai ia tua serta sudah tak bertenaga lagi. Dari kalangan kedokteran dewasa ini ada yang berpendapat bahwa manusia itu dilahirkan dalam proses pembentukannya sudah ada benih yang menentukan hidupnya. Jarak waktu yang akan ditempuh oleh benih itu untuk mencapai tujuannya yang terakhir dapat pula diketahui asal saja benihnya sendiri dapat kita ketahui. Tetapi untuk mengetahui benih ini bukan soal yang begitu mudah. Adakalanya ia dalam bentuk fisik, tersembunyi dalam salah satu bagian dalam tubuh - bagian yang penting atau tidak penting - adakalanya dalam bentuk psychis dalam pikiran kita, bertalian dengan lapisan-lapisan otak yang akan mendorong pihak yang bersangkutan hidup berpetualang dan mau menghadapi bahaya, atau sebagai pemberani. Allah mengetahui belaka semua itu. Dia yang mengetahui saat kematian setiap manusia itu akan tiba, menurut hukum alam, tanpa dapat diubah dan ditukar-tukar.
[
Sebagai tanda kasih sayang Tuhan, Ia tidak akan menjatuhkan siksaan sebelum mengutus seorang rasul yang akan memberikan bimbingan kepada manusia dalam mencapai Kebenaran serta menjelaskan pula jalan kebaikan yang harus ditempuhnya. Sekiranya Tuhan akan menghukum manusia karena perbuatan mereka yang salah, niscaya takkan ada makhluk hidup di muka bumi ini yang akan ketinggalan. Tuhan menunda mereka sampai pada waktu tertentu sampai mereka dapat mendengarkan dan mau menerima ajakan para rasul itu dan tidak sampai benar mereka terpesona oleh godaan hidup duniawi. Tuhan tidak mengutus para rasul itu dari kalangan raja-raja, orang-orang kaya, orang-orang berpangkat atau dari kalangan orang cerdik pandai. Mereka diutus dari kalangan rakyat jelata. Nabi Ibrahim tukang kayu, ayahnya pun tukang kayu. Nabi Isa juga tukang kayu di Nazareth. Juga tidak sedikit dari nabi-nabi itu yang tadinya penggembala kambing, termasuk Nabi penutup Muhammad ‘alaihissalam. Tuhan mengutus para rasul dari rakyat jelata itu untuk memperlihatkan bahwa Kebenaran itu bukan menjadi milik orang-orang kaya atau orang-orang kuat melainkan milik orang yang mencari Kebenaran demi kebenaran semata. Kebenaran yang azali, yang abadi, ialah orang yang baru sempurna imannya apabila ia sudah dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.


0 comments:

Post a Comment